JAKARTA, DDTCNews—Sebanyak 72,22% atau 13 peserta lomba debat #MariBicara DDTCNews sepakat memilih Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law Kebijakan Perpajakan untuk Memperkuat Perekonomian guna mengenakan pajak layanan digital atau pajak digital ketimbang menerbitkan perpu.
Mereka berpandangan tidak masalah memberikan subsidi pajak lebih lama kepada para raksasa digital seperti Facebook, Netflix, Google, Spotify, dan lainnya, selama undang-undang yang menurut rencana akan terbit pada 2022 itu lebih memberikan kepastian hukum terutama kepada wajib pajak.
Dalam debat tersebut, setelah disaring, terdapat total 18 peserta yang memberikan pendapat. Sementara itu, hanya 27,78% atau 5 orang peserta debat yang menginginkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengatur pajak digital.
Ke-5 orang itu berpandangan penerbitan perpu adalah pilihan yang tepat sembari menunggu pembentukan undang-undang. Dengan demikian, Indonesia bisa segera memungut pajak digital seperti negara lain, dan tidak perlu memberikan subsidi pajak lebih lama kepada para raksasa digital.
Dari seluruh pendapat yang masuk, DDTCNews menetapkan pendapat Dwiki Agung Pebrianda, mahasiswa Politeknik Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dari Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sebagai pemenang lomba debat periode 16-30 November 2019.
“Jika harus menunggu antara menerbitkan Perpu dengan risiko tolakan legislatif serta peraturan kosong yang sulit implementasinya, saya lebih memilih omnibus law pada 2022 nanti. Mungkin kita memang memberi subsidi sampai 2022, tapi bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Dwiki.
Menurut dia, ada sekitar 2 tahun yang dapat dipergunakan pemerintah untuk memperkuat sistem perpajakannya, mulai dari pengembangan kompetensi instansi beserta sumber daya manusianya, perbaikan sistem informasi, sampai pendekatan ke entitas digital dan negara mitra.
Ridwan S., peserta debat lainnya, juga mendukung omnibus law sebagai kebijakan untuk mengatur pajak digital. Menurutnya, kesenjangan kebijakan saat ini tidak mampu membendung bisnis yang terus berkembang. “Perlu omnibus law yang adaptif dan responsif dengan orientasi jangka panjang.”
Namun, tidak semua peserta debat setuju dengan Dwiki dan Ridwan. Peserta lainnya, Fanni Fauziah mengatakan permasalahan transaksi digital sudah masuk dalam kriteria ‘hal-ikhwal kegentingan yang memaksa’ yang menjadi syarat penerbitan perpu.
“Pemerintah tidak perlu menunggu konsensus global dan sebaiknya segera membuat perpu, mengingat situasi penerimaan negara yang tak pernah tercapai dan belum tampak adanya aspek keadilan bagi pelaku usaha digital,” katanya.
Selain Fanni, Muhammad Yusaka juga berpendapat asas keadilan mengharuskan negara untuk tidak melakukan diskriminasi pajak. Karena itu, pelaku usaha digital harus mendapatkan perlakuan pajak yang sama dengan mereka yang berusaha di sektor konvensional.
“Ketidakadilan ini tentu akan menyebabkan kecemburuan yang akan berimbas pada menurunnya kerelaan wajib pajak untuk membayar pajak, khususnya bagi para pelaku ekonomi konvensional. Ini sudah cukup menjadi alasan bagi pemerintah untuk menerbitkan perpu,” katanya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.