LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Urgensi Reformasi Pengadilan Pajak

Redaksi DDTCNews | Jumat, 13 November 2020 | 14:30 WIB
Urgensi Reformasi Pengadilan Pajak

Rohana Amelia Putri Handayani, Depok, Jawa Barat

BERBAGAI permasalahan dialami Pengadilan Pajak, mulai dari keluhan akibat dinilai terlalu eksklusif dan berpihak ke pemerintah, anggapan tidak independen, dan menumpuknya sengketa akibat melebihi kapasitas. Kondisi ini masih dipersulit dengan pandemi virus Covid-19.

Reformasi perpajakan dimulai 1983 dengan ditetapkannya 5 UU baru. Saat ini, Indonesia memasuki Reformasi Perpajakan Jilid III yang melibatkan perubahan 5 pilar utama, yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perpajakan.

Untuk mengatasi kekurangan kapasitas Pengadilan Pajak, pemerintah membuka rekruitmen hakim. Penekanan terhadap reformasi perpajakan akan ditujukan kepada para hakim di Pengadilan Pajak guna mewujudkan wajah Pengadilan Pajak yang kredibel, akuntabel, dan inklusif.

Covid-19 telah mewabah hingga tidak hanya menjangkiti kesehatan penduduk dunia, tetapi juga perekonomian, sosial, dan kesejahteraan sebagian besar negara di dunia. Ketidakpastian global, baik pada aspek ekonomi maupun sosial merupakan akibat yang tidak terelakkan.

Di Indonesia, dampak negatif Covid -19 terlihat pada resesi ekonomi. Dari segi kesehatan, jumlah kasus positif Covid-19 per 30 September 2020 mencapai 287.008 kasus, dengan korban jiwa 10.740 jiwa. Dari dunia usaha, 8 dari 10 perusahaan mengalami penurunan pendapatan (BPS, 2020).

Menyadari dampak negatif pandemi ini, maka harus diambil kebijakan di bidang keuangan negara. Sebagai landasan hukumnya diterbitkanlah UU No. 2 Tahun 2020, yang di dalamnya terdapat berbagai kebijakan perpajakan seperti penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan.

Pada 2016 telah disepakati agenda Sustainable Development Goals (SDG’s). Agenda ini membawa 5 prinsip dasar yang menyeimbangkan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan, yaitu manusia (people), bumi (planet), kemakmuran (prosperity), perdamaian (peace), dan kerja sama (partnership).

Kelima prinsip dasar ini menaungi 17 tujuan dan 169 sasaran yang tidak dapat dipisahkan guna mencapai kehidupan manusia yang lebih baik. Dengan demikian, kesuksesan pembangunan tidak hanya dilihat dari seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tercapainya agenda SDG’s.

Reformasi perpajakan, khususnya Pengadilan Pajak, termasuk dalam tujuan 16 dari agenda SDG’s yaitu membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua level. Berbagai langkah di bidang perpajakan dan SDG’s jelas memperlihatkan wajah pemerintah yang lebih bersahabat.

Penekanan reformasi perpajakan harus ditujukan pada pemberdayaan hakim di Pengadilan Pajak. Hakim harus beradaptasi dengan perubahan akibat pandemi. Hakim juga harus lebih inklusif menampung kebutuhan wajib pajak, dengan tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan.

Pengaruhi Putusan
HUKUM, dalam hal ini putusan hakim di Pengadilan Pajak, memiliki kekuatan mengikat yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan memberikan dampak terhadap pihak terkait. Karena itu, putusan hakim seharusnya dapat mengakomodasi kebutuhan esensial semua pihak terkait.

Dalam memutuskan perkara, hakim dihadapkan pada asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan (Siahaan, 2006). Penekanan asas kepastian hukum cenderung mempertahankan norma hukum tertulis demi menjaga kepastian hukum.

Pada asas keadilan, hakim harus mempertimbangkan hukum di masyarakat, yang terdiri atas kebiasaan dan ketentuan tidak tertulis. Untuk asas kemanfaatan lebih pada segi ekonomi, yaitu cost-benefit. Seharusnya, ketiga asas itu dilaksanakan secara kompromi, berimbang atau proporsional.

Namun kenyataannya, hakim harus memilih salah satu dari asas tersebut. Hakim harus menentukan dengan pertimbangan nalar kapan lebih dekat dengan salah satu asas itu dan tidak terpaku pada satu asas tertentu. Kualitas hakim Pengadilan Pajak akan terlihat dari bobot pertimbangannya.

Bagaimanapun, independensi Pengadilan Pajak memengaruhi putusan hakim. Idealnya, kekuasaan kehakiman bersifat bebas, tetapi pada kenyataannya tampak adanya pengaruh stratifikasi sosial dan birokrasi dalam putusan pengadilan (Soekanto, Suyanto, dan Widodo, 1988).

Aparat hukum pada birokrasi akan mengambil putusan tidak hanya berdasar hukum. Putusan hakim dipengaruhi pandangan individual dan struktur sosial saat keputusan tersebut diambil. Karena itu, independensi Pengadilan Pajak dari kekuasaan eksekutif adalah pertimbangan yang wajar.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

23 November 2020 | 14:33 WIB

Artikel ini sangat informatif dan memberikan pandangan baru bagi pembaca. Tulisan tersebut membuat saya menyadari betapa pentingnya reformasi Pengadilan Pajak dalam rangka mencapai reformasi perpajakan. Pajak merupakan sumber utama Pendapatan Negara. Sehingga pajak menjadi hal yang penting untuk menjalankan kegiatan negara dan pembangunan negara. Pengadilan Pajak sesuai dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa di bidang perpajakan. Oleh karena itu, sesuai dengan tulisan dalam artikel tersebut, dibutuhkan adanya badan peradilan dan hakim yang independen, inklusif dan berpegang pada peraturan perundang-undangan dalam memutus sengketa perpajakan. Artikel tersebut juga sangat baik karena membahas mengenai Sustainable Development Goals (SDG). Indonesia perlu juga membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif untuk mencapai SDG tersebut salah satunya dengan melakukan reformasi di Pengadilan Pajak.

22 November 2020 | 14:08 WIB

Saya sependapat dengan penulis dimana disini terlihat urgensi reformasi pengadilan pajak dan juga pentingnya peran serta pandangan hakim sebagai penegak hukum khususnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di pengadilan pajak dalam kondisi covid-19 yang sedang kita hadapi saat ini. Hal ini menjadi penting karena seperti yang kita tahu pajak adalah salah satu penerimaan terbesar negara dalam menjalankan pemerintahan dan bersifat wajib. Disinilah pentingnya peran hakim dalam memutus perkara dimana memang pajak ini adalah aspek penting pengembangan ekonomi dalam menghadapi situasi covid-19, hakim haruslah bijaksana dalam memutus karena nantinya putusan itu akan memberi dampak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak yang berperkara maupun masyarakat nantinya. Saya juga setuju dengan gagasan penulis untuk sebaiknya pengadilan pajak direformasi dengan wajah pengadilan yang akuntabel, kredibel, dan inklusif.

22 November 2020 | 12:00 WIB

Artikel ini sangat membuka wawasan terkait isu pengadilan pajak di Indonesia. Menurut saya, hal ini penting untuk mendapat perhatian guna mendukung perekonomian di Indonesia, khususnya pada masa pandemi yang mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Perpajakan dapat dikatakan sebagai salah satu yang utama dalam penerimaan negara, dengan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Pajak Penghasilan; serta Pajak Pusat Lainnya sebagai penopang pembangunan negara. Untuk itu, pengadilan pajak memang sudah sepatutnya ditingkatkan kualitasnya karena pengadilan pajak ini berperan sebagai wadah untuk mencari keadilan dan pemulihan hak-hak bagi pihak-pihak yang bersengketa. Dengan pengadilan pajak yang baik, maka dapat meningkatkan perekonomian Indonesia juga.

22 November 2020 | 11:44 WIB

Tulisan yang sangat menarik dari Penulis karena mengangkat salah satu topik yang sangat penting di tengah pandemi COVID-19 yakni Reformasi Perpajakan khusunya Pengadilan Pajak. Saya setuju dengan pendapat penulis bahwa Reformasi Pengadilan Pajak dilakukan salah satunya dengan pengangkatan dan pemberdayaan Hakim Pengadilan Pajak. Lebih lanjutnya, saya berpendapat bahwa selain melakukan rekrutment Hakim Pengadilan Pajak, diperlukan juga pelatihan-pelatihan bagi Hakim tersebut sehingga tujuan reformasi Perpajakan menjadi terlaksana. Pada akhirnya, saya melihat bahwa reformasi pengadilan pajak bisa dilakukan secara bertahap dimulai dengan rekrutment Hakim secara transparan dan pada akhirnya, sektor-sektor lain yang butuh Reformasi di Pengadilan Pajak bisa dilakukan.

22 November 2020 | 11:39 WIB

(2/2) Dengan adanya UU No. 2 Tahun 2020, selain menerapkan asas kemanfaatan, hakim Pengadilan Pajak juga harus memerhatikan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut dan hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat. Saya setuju bahwa keseimbangan antara asas-asas tersebut harus benar-benar diimplementasikan, bukan hanya sebagai teori belaka. Dengan adanya pandemi ini, seolah-olah kita semua diingatkan akan betapa pentingnya penegakan hukum yang adil, bersih, jujur, dan tidak berkompromi.

22 November 2020 | 11:39 WIB

(1/2) Di masa pandemi COVID-19 yang sedang terjadi pada saat ini, jarang ditemukan artikel yang membahas mengenai Pengadilan Pajak di Indonesia. Padahal, topik tersebut sesungguhnya merupakan topik yang perlu dibahas dan dikaji penerapannya. Menurut saya, artikel ini telah membahas topik tersebut dengan sangat baik, terstruktur, dan mudah dimengerti. Saya setuju dengan pendapat penulis yang berpendapat bahwa independensi Pengadilan Pajak merupakan hal yang krusial. Terlebih lagi pada masa pandemi yang bersifat unprecedented ini, sudah seharusnya hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pajak mengedepankan asas kemanfaatan. Namun, asas kemanfaatan dalam hal ini pun harus diterapkan tanpa mengorbankan asas kepastian hukum dan asas keadilan.

22 November 2020 | 11:38 WIB

Tulisan yang sangat menarik, informatif, dan konstruktif. Saya sangat sependapat dengan penulis bahwa reformasi pengadilan pajak harus ditujukan untuk pemberdayaan hakim. Hal ini dikarenakan putusan hakim pengadilan pajak berdampak sangat besar, khususnya bagi para pihak terkait. Oleh karena itu, dalam mengambil suatu putusan, hakim harus memperhatikan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan yang ada. Selain itu, hakim juga perlu untuk memahami dan memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai akuntansi pajak. Sehingga, reformasi pengadilan pajak yang disampaikan oleh penulis dapat terwujud menjadi pengadilan pajak yang kredibel, akuntable, dan inklusif

22 November 2020 | 11:36 WIB

Tulisan berargumentasi tentang bagaimana Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi iklim perpajakan di Indonesia sehingga dibutuhkan Pengadilan Pajak yang bebas dan terlepas dari pengaruh stratifikasi sosial dan birokrasi. Tulisan ini jelas mengangkat realita permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, bagaimana wajib pajak maupun penanggung pajak membutuhkan lembaga peradilan yang independen dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak yang terjadi. Namun perlu diperhatikan pula bahwa Pengadilan Pajak sebagai suatu kekuasaan kehakiman tidak luput dari pengawasan maupun bimbingan lembaga yudikatif (MA). Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14/2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP) mengatur bahwa bimbingan teknis peradilan Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA, sehingga seharusnya aspek-aspek keadilan tidak dapat luput dari proses penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak. Setiap hakim di Pengadilan Pajak pun perlu mendapat persetujuan dan pengawasan dari MA sehingga tetap independen.

22 November 2020 | 11:33 WIB

Saya sangat setuju terhadap pandangan dan pendapat dari Penulis mengenai pentingnya Reformasi Pengadilan Pajak, terutama di kondisi yang tidak menentuk seperti tentu dibutuhkan langkah strategis untuk overcome permasalahan tersebut, salah satu nya adalah dalam penegakan hukum dan pengambilan kebijakan. Dalam hal Reformasi Pengadilan Pajak saya yakin kedepannya akan menciptakan putusan dan pertimbangan hakim pengadilan yang lebih kredibel, akuntabel, dan inklusif serta sesuai dengan peran dan peruntukannya! artikelnya sangat informatif!🙂🙂

22 November 2020 | 11:32 WIB

Melalui artikel ini terlihat bahwa penulis berusaha menggagas sesuatu yang baru (inovatif) penulis melihat banyaknya problem dari pengadilan pajak saat ini ditambah dengan kondisi COVID-19 yang semakin membuat kompleksitas dari masalah yang dihadapi pengadilan pajak sehingga dibutuhkan sebuah upaya perubahan yaitu upaya reformasi pengadilan pajak. Penulis membuka wawasan pembaca dengan menjelaskan bahwa reformasi pengadilan pajak ini bukanlah sesuatu yang baru dan lumrah untuk dilakukan di Indonesia karena sejak tahun 1983 sudah dilakukan reformasi pengadilan pajak pertama kali, hal ini menguatkan gagasan penulis bahwa reformasi pengadilan pajak adalah hal yang tidak mustahil dilakukan lagi. Secara keseluruhan saya selaku pembaca (reviewer) sangat setuju dengan segala gagasan yang digagas oleh penulis dalam artikelnya, penulis memberikan banyak rasionalisasi akan gagasannya, dan menurut pandangan pembaca gagasan-gagasan yang diberikan sangat solutif serta menjawab tantangan jaman.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:30 WIB MAHKAMAH KONSTITUSI

Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Jumat, 20 Desember 2024 | 19:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

Jumat, 13 Desember 2024 | 16:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPN atas Klaim Layanan Garansi Suku Cadang Mobil

Jumat, 13 Desember 2024 | 13:42 WIB BINUS UNIVERSITY

Profesional DDTC Edukasi Mahasiswa Soal Beracara di Pengadilan Pajak

BERITA PILIHAN