Yasinta Widya Paramitha
,DATA Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan menunjukkan golongan 1% orang terkaya menguasai 50% aset nasional. Konsentrasi kekayaan pada golongan sangat kaya berisiko makin memperburuk ketimpangan di Indonesia, sehingga dibutuhkan intervensi kebijakan.
Sesuai dengan fungsi redistribusi, instrumen kebijakan pajak atas transfer kekayaan dapat menjadi opsi. Terdapat dua jenis pajak atas transfer kekayaan (wealth transfer tax) yang dikenal, yaitu pajak warisan dan pajak hibah.
Walaupun Indonesia belum menerapkan pajak ini, setidaknya 26 dari 35 negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menerapkan pajak atas transfer kekayaan. Pajak ini juga diterapkan negara berkembang, seperti Thailand dan Filipina.
Namun demikian, kontribusi penerimaan dari pajak atas transfer kekayaan sebenarnya tidak signifikan dibandingkan dengan total penerimaan pajak. Pada negara anggota OECD, proporsi pajak ini menurun dari 1,1% pada 1965 menjadi 0,4% pada 2018.
Dengan demikian, patut untuk dipertanyakan, apakah pajak atas transfer kekayaan layak diterapkan di Indonesia?
PENERAPAN kebijakan pajak tentu saja tidak dapat hanya diukur dari signifikansi penerimaan negara yang akan diperoleh. Dalam konteks Indonesia, penerapan pajak ini perlu dipandang sebagai bentuk pernyataan kemauan bersama untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal tersebut penting mengingat walaupun berbagai usaha telah dilakukan pemerintah selama ini, data menunjukan ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi persoalan Indonesia.
Manfaat pajak atas transfer kekayaan untuk mendorong keadilan dapat diperkuat dengan kewajiban (mandatory) penggunaan penerimaan pajak untuk secara spesifik membiayai program peningkatan pemerataan akses layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.
Dengan demikian, selain dapat sedikit mengurangi konsentrasi kekayaan pada kelompok sangat kaya, ada peluang menciptakan kesempatan yang lebih baik bagi kelompok ekonomi rentan. Tentunya diperlukan penerapan batasan minimum jumlah harta yang dikenakan jenis pajak ini. Tujuannya untuk menjamin pajak ini hanya dikenakan pada kelompok sangat kaya.
Penerapan pajak atas transfer kekayaan juga dibutuhkan sebagai pelengkap rezim pajak penghasilan (PPh) yang dianut Indonesia. Kenaikan tarif PPh untuk lapisan penghasilan kena pajak tertinggi tidak cukup menjadi satu-satunya instrumen pendorong progresivitas dalam sistem pajak.
Pasalnya, penghasilan pasif (passive income) dari investasi atau penyewaan aset lebih mendominasi proporsi penghasilan kelompok superkaya ketimbang hasil dari pekerjaan yang menjadi basis penghitungan pajak pada lapisan tarif tertinggi.
Beberapa jenis penghasilan dari pemanfaatan harta juga mendapat fasilitas pengecualian. Contoh, setelah penerapan UU Cipta Kerja, penghasilan berupa dividen yang diterima orang pribadi dapat dikecualikan dari pengenaan PPh apabila diinvestasikan kembali di Indonesia.
Dengan demikian, apabila suatu saat terjadi pengalihan harta ke generasi berikutnya, terdapat kemungkinan harta tersebut didapatkan dari akumulasi penghasilan yang sejak awal tidak pernah dipajaki. Dalam konteks ini, pengenaan pajak yang secara langsung menyasar pengalihan harta kelompok superkaya dapat menjadi instrumen untuk memperkuat progresivitas sistem pajak.
Berikutnya, perlu pengaturan yang jelas mengenai aspek pajak atas transfer kekayaan. Dalam kondisi saat ini, warisan berupa tanah dan bangunan –yang tidak dapat dipindahkan ke luar negeri—justru dapat dibebaskan dari pengenaan pajak hanya dengan syarat mengajukan Surat Keterangan Bebas dan atas harta tersebut telah dicantumkan pada SPT pemberi waris.
Sebaliknya pemerintah belum mengatur jelas untuk uang tunai, logam mulia, atau barang seni yang dapat dipindahkan ke luar negeri. Hal tersebut cukup janggal mengingat risiko berpindahnya orang sangat kaya atau hartanya ke luar negeri menjadi argumentasi pihak yang menentang pajak atas transfer kekayaan.
WALAUPUN muncul urgensi atas penerapan pajak atas transfer kekayaan, terdapat beberapa kendala yang tetap perlu dimitigasi. Pertama, tantangan administrasi dari sisi ketersediaan data. Nilai aset wajib pajak yang dicantumkan dalam SPT Tahunan PPh umumnya berdasarkan pada harga perolehan.
Harga perolehan tersebut sering kali tidak lagi mencerminkan nilai wajar. Alhasil, hal ini berpotensi menyulitkan otoritas pajak dalam menentukan nilai aset yang sebenarnya. Ada risiko pajak ini tidak dikenakan terhadap mereka yang seharusnya dikenakan. Hal ini dikarenakan berdasarkan pada data SPT, nilai harta yang dilaporkan lebih rendah dari batasan minimum.
Lebih lanjut, perbedaan pengakuan nilai harta dapat menjadi potensi sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak. Untuk itu, penerapan pajak ini perlu diimbangi dengan alokasi sumber daya dalam penilaian aset wajib pajak serta pencegahan proses sengketa yang kontraproduktif.
Kedua, tantangan politis. Kelompok sangat kaya memiliki sumber daya untuk memengaruhi keputusan politik serta membentuk opini publik. Beberapa orang kaya di Indonesia mempunyai pengaruh yang substansial pada partai politik dan menjadi anggota parlemen.
Kombinasi dari kekuatan ekonomi dan politik membentuk kelompok yang mungkin dapat menolak rancangan kebijakan pajak atas transfer kekayaan. Dibutuhkan komunikasi politik yang tepat dan momentum dukungan publik bagi pemerintah.
Bagaimanapun, kesempatan atas ekualitas untuk generasi berikutnya mungkin dapat tercapai dengan diaplikasikannya pajak atas transfer kekayaan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.