Muhammad Olis
, Jepara, Jawa TengahWACANA relaksasi pajak kendaraan baru yang digulirkan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita layak dikaji dan diuji. Seberapa positif dan efektif penghilangan pajak kendaraaan baru itu mampu menyelamatkan industri otomotif nasional yang rontok dihajar pandemi Covid-19.
Seberapa besar pula dampaknya terhadap setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang dikelola pemerintah pusat, serta bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang jadi andalan pemerintah daerah.
Seiring dengan wacana relaksasi pajak kendaraan baru yang dibuat 0% itu mestinya ada terobosan terkait dengan pembayaran pajak kendaraan lama. Relaksasi ini penting untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak yang tengah di bawah bayang-bayang resesi.
Tidak adanya relaksasi yang jitu untuk kendaraan lama malah berisiok mengurangi setoran PKB. Badan Pajak dan Retribusi Daerah Pemprov DKI Jakarta misalnya, mencatat per September 2019 terdapat 2 juta unit kendaraan bermotor yang belum melunasi pajak.
Pada Juni 2020, jumlah kendaraan yang menunggak pembayaran pajak membengkak. Tercatat ada 6.183.376 unit kendaraan bermotor yang belum melunasi kewajiban pajaknya. Jika dinominalkan, tunggakan pajak yang belum dibayar pemilik kendaraan itu mencapai triliunan rupiah.
Sejauh ini, upaya yang dilakukan pemerintah cenderung monoton, yakni menggratiskan BBNKB dan menghilangkan denda pembayaran pajak atau bebas sanksi administratif. Hanya Provinsi Jawa Timur yang progresif, memberikan diskon 15% dari pokok pajak selama 2 April-31 Agustus 2020.
Langkah Terobosan
BERDASARKAN UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak untuk pemerintah provinsi ditetapkan 5 jenis, yaitu PKB, BBNKB, pajak air permukaan dan pajak rokok. PKB adalah komponen yang berkontribusi signifikan di dalam pendapatan asli daerah (PAD).
Setiap provinsi atau kabupaten/kota mengandalkan setoran PKB untuk menyokong pembangunan di daerahnya. Provinsi Jawa Tengah misalnya, pada 2020 menargetkan setoran PKB Rp5,2 triliun. Angka ini sekitar seperlima dari total APBD Jateng 2020 yang besarnya Rp28,3 triliun.
Karena itu, harus ada terobosan agar penerimaan PKB tetap maksimal. Salah satunya dengan menghitung ulang rumus PKB. Selama ini, rumus menghitung PKB adalah nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) x 2% tarif pajak + sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan (SWDKLLJ).
NJKB adalah harga atau nilai yang sudah ditetapkan Badan Pendapatan Daerah yang sebelumnya sudah mendapatkan data dari Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM). Sementara itu, SWDKLLJ ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.010/2008.
Setiap tahun, nominal PKB yang dibayarkan ternyata sama. Padahal, selama pemakaian beberapa tahun, terjadi penyusutan harga mobil. Sebagai contoh, Nissan Grand Livina 1,5 XV 2010. NJKB-nya pada 2020 adalah Rp104.710.950, sehingga nominal pajak yang harus dibayar Rp2.237.750.
Nominal itu merupakan hasil penambahan dari PKB Rp2.094.750 + SWDKLLJ sebesar Rp143.000. Rumus untuk menentukan PKB ini jelas tidak fair. Sebab saat ini nilai jual kendaraan Nissan Grand Livina 1,5 XV 2010 berkisar Rp70 juta.
Kondisi seperti itu juga dialami berbagai jenis, tipe dan merek kendaraan lain. Idealnya, nominal PKB turun mengikuti penurunan nilai jual kendaraan. Nilai jual terkini itulah yang seharusnya menjadi pijakan NJKB. Jika masih menggunakan NJKB lama, besarannya tidak lagi 2%, tetapi bisa 1%.
Cara perhitungan pajak kendaraan yang lebih adil ini layak diterapkan. Tidak hanya pada masa pandemi Covid-19, tetapi juga saat kondisi berangsur normal. Dengan demikian, relaksasi pajak yang diterapkan tidak sekedar pemberian diskon pajak kendaraan seperti yang berlaku di Jawa Timur.
Penerapan perhitungan pajak kendaraan yang lebih berkeadilan dengan berpijak pada NJKB sesuai dengan kondisi pasar ini penting. Jika berpijak pola lama, beban pajak yang besarannya sama setiap tahun akan terus memicu ketidakpatuhan para pemilik kendaraan.
Ujung-ujungnya, situasi ini bisa memicu lonjakan kendaraan bodong di lapangan. Jika hal itu terjadi, pundi-pundi keuangan negara dari sektor pajak juga ikut tergerus seiring maraknya kendaraan bodong tersebut. Itu yang harus diantisipasi.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
mantap untuk analisa pajak daerahnya