Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. (tangkapan layar Zoom).
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Perdagangan menilai rencana pengenaan pajak karbon lintas yurisdiksi atau carbon border tax yang tengah diinisiasi oleh Uni Eropa berpotensi dapat mengganggu perdagangan dunia.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan rencana carbon border tax yang saat ini sedang menjadi perbincangan dunia internasional merupakan cara baru yang akan digunakan Eropa untuk melindungi produk-produknya yang terlanjur mahal.
"Kami pada dasarnya beranggapan ini cara baru mereka untuk memproteksi produk mereka sendiri yang sudah mahal, kuno, dan efektivitasnya sudah tidak baik. Ini cara baru mereka menyeimbangkan harga produksi mereka yang lebih mahal," katanya, dikutip pada Selasa (27/7/2021).
Sebagai respons atas perkembangan tersebut, Lutfi mengaku, Kementerian Perdagangan saat ini tengah mempelajari apakah carbon border tax bertentangan dengan kaidah World Trade Organization (WTO) atau tidak.
Menurutnya, Indonesia akan mengangkat permasalahan ini dalam forum multilateral seperti G20 yang akan kembali bertemu pada Oktober 2021. Sekadar informasi, Uni Eropa berencana menerapkan carbon border tax mulai 2026.
Pada 2023 hingga 2025, importir bakal diminta untuk memonitor dan melaporkan emission footprint dari produk yang diimpor. Pada 2026, carbon border tax akan dikenakan dan akan dipertimbangkan untuk diperluas cakupannya ke komoditas-komoditas impor lainnya.
Tak hanya Uni Eropa, Pemerintah AS juga tengah mempertimbangkan untuk mengenakan pajak yang sama atas produk impor. Rencana tersebut setidaknya telah mendapatkan dukungan dari beberapa anggota Senat AS dari Partai Demokrat. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
penerapan carbon tax memang menjadi salah satu alternatif terbaik untuk mengkontrol emisi karbon, namun dengan adanya carbon border tax justru malah mendistorsi pergerakan ekonomi secara global dimana hal ini berpotensi menjadi permasalahan baru nantinya