Predi M. Sinaga
,HARUS diakui, sistem pemajakan terhadap penghasilan dari ekonomi digital, seperti sosial media, di Indonesia masih cukup lemah. Selain kurang komprehensifnya pendekatan otoritas, terbatasnya akses informasi menjadi masalah utama di banyak negara.
Youtube adalah salah satu platform video digital yang diminati banyak orang di dunia. Khusus Indonesia, survei terakhir Databoks mengungkapkan jumlah pengguna Youtube mencapai 94% dari total pengguna internet.
Jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2021 sebanyak 202 juta. Artinya, hampir 200 juta orang Indonesia mengakses Youtube. Jumlah ini sudah termasuk sekitar 600 kreator Youtube Indonesia dengan 1 juta subscriber (top creator).
Adapun salah satu syarat utama Youtuber untuk bisa memonetisasi konten adalah memiliki jumlah subscriber lebih dari 1000 orang. Dengan demikian, jumlah Youtuber di Indonesia pastinya lebih banyak dari yang sudah dipetakan sebelumnya.
Faktanya, Ditjen Pajak (DJP) belum memaksimalkan sumber pajak dari sektor tersebut. Belum adanya payung hukum yang khusus mengenai pemajakan atas penghasilan para Youtuber, terutama independent influencer, menjadi faktor utama belum maksimalnya penerimaan pajak.
Akibatnya, ada persamaan perlakuan dengan penghasilan pada umumnya. Setiap Youtuber diwajibkan menghitung, melaporkan, dan membayarkan pajaknya berdasarkan pada Pasal 17 Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh).
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab potensi pajak dari sektor ini tidak bisa dioptimalkan. Pertama, penggolongan Youtuber sebagai pekerja seni menjadikan norma perhitungan penghasilan kena pajak menjadi cukup tinggi.
Padahal, logikanya, biaya yang dikeluarkan Youtuber tidak sebesar norma yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan alat untuk memproduksi konten digunakan berulang-ulang sehingga tidak memiliki variable/fixed cost yang besar. Kondisi ini membuat Youtuber sangat berbeda dari pekerja seni konvensional.
Kedua, adanya celah bagi Youtuber untuk cenderung memecah penghasilan. Celah ini bisa dimanfaatkan untuk mengurangi penghasilan kena pajak sehingga Youtuber mendapatkan lapisan tarif yang rendah.
Ketiga, kurangnya akses terhadap data penghasilan Youtuber membuat otoritas cenderung pasif dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan.
Keempat, dasar hukum terkait pemajakan Youtuber belum diatur secara komprehensif. Hal ini menyangkut dasar penghitungan, pengurang pajak, tarif, dan kewajiban lainnya. Dengan demikian, ketentuan saat ini masih mengikuti defenisi penghasilan pada umumnya.
BERDASARKAN pada informasi dari Google Adsense, mitra kreator dalam mendapatkan penghasilan, setiap 1.000 views pada konten yang dipublikasikan akan menghasilkan US$1. Jika dipetakan dengan 600 Youtuber yang sudah memiliki 1 juta subscriber, diperoleh nilai penghasilan US$600.
Faktanya, penonton setiap konten yang dimiliki tidak terbatas hanya pada subscriber sehingga potensinya akan lebih besar. Apalagi, Youtuber profesional pada umumnya memiliki jumlah volume upload 2-3 kali per hari atau 90 konten dalam satu bulan.
Artinya, setiap bulan ada potensi penghasilan sekitar US$45.000 atau US$540.000/tahun dari Youtuber. Perlu diingat, estimasi ini hanya dari 600 Top Youtuber Indonesia. Artinya, potensi yang dihasilkan masih bisa meningkat puluhan, bahkan ratusan kali lipat. Selain itu, konten Youtube memungkinkan untuk ditonton beberapa kali sehingga jumlah potensi sebenarnya masih bisa jauh lebih besar.
Selain dari Google Adsense, Youtuber yang memproduksi konten gaming juga memiliki potensi penghasilan dari donasi penonton ketika melakukan live streaming. Donasi ini pada umumnya menjadi pendapatan pribadi Youtuber. Tentu donasi ini bukan termasuk yang dibebaskan dari pajak karena tidak memenuhi ketentuan.
Sebagai contoh, baru baru ini seorang Youtuber memperoleh donasi Rp1 miliar hanya dari satu orang penonton dalam kontennya bermain game. Berangkat dari fakta lapangan yang ada maka potensi dari donasi terhadap Youtuber bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah dalam satu tahun.
Kemudian, potensi pendapatan lain dari Youtuber juga berasal dari kerja sama dengan perusahaan dengan brand tertentu. Kerja sama dilakukan baik melalui pengiklanan produk maupun pemakaian dalam setiap konten secara periodik atau permanen.
Lantas, bagaimana seharusnya otoritas menyikapi potensi tersebut? Perlu adanya langkah lebih komprehensif yang dilakukan agar nilai ekonomi seperti ini tidak menjadi shadow economy, berkontribusi pada produk domestik bruto (PDB) tetapi tidak mampu menjadi penopang penerimaan.
Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan DJP untuk mengoptimalkan pajak Youtuber. Pertama, membuat payung hukum lebih komprehensif mengenai Youtuber, baik melalui peraturan direktur jenderal maupun peraturan menteri keuangan.
Peraturan itu bisa mengatur beberapa hal, seperti tarif dan norma perhitungan penghasilan kena pajak. Dengan demikian, Youtuber tidak lagi mengikuti norma perhitungan pekerja seni sebesar 50% yang tidak ideal terhadap biaya sebenarnya.
Selain itu, definisi terkait dengan Youtuber dan ketentuan lainnya juga bisa menjadi bagian dari revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dengan demikian, selain pengaturannya komprehensif, ketentuan akan kuat secara hukum.
Kedua, otoritas perlu menjalin hubungan kerja sama dengan pihak Google Adsense untuk memaksimalkan pajak dari viewer. Dalam hal ini, Google dapat menjadi pemungut pajak dari setiap penghasilan Youtuber dari Indonesia.
Jika kerja sama tersebut disetujui sebagai opsi lanjutan maka DJP bisa mempertimbangkan pengenaan pajak atas penghasilan Youtuber. Opsinya adalah Pasal 17 UU PPh atau skema PPh final. Pilihan pengenaan pajak akan menciptakan efisiensi biaya administrasi dan kepatuhan.
Otoritas dapat meminta agar data, seperti biodata Youtuber, jumlah jam views, dan jumlah subscriber, diintegrasikan dengan sistem DJP dengan dibantu Kementerian Komunikasi dan Informatika. Integrasi data ini akan memudahkan otoritas untuk melakukan pengawasan.
Kerja sama ini tidak akan sulit dicapai mengingat Indonesia termasuk salah satu pengguna terbesar aplikasi Youtube. Selain itu, PT Google Indonesia yang berstatus sebagai bentuk usaha tetap (BUT) punya komitmen untuk menegakkan administrasi dan peraturan pajak yang ada di Indonesia
Ketiga, potensi penghasilan selain adsense seperti donasi dan kerja sama brand memang agak sulit untuk diambil. Satu hal yang paling mungkin dilakukan otoritas adalah melakukan pendekatan secara kooperatif.
Sebagai contoh, Youtuber yang terverifikasi atau sudah dikenal luas oleh publik dapat dijadikan sebagai duta pajak digital. Apresiasi ini perlu diberikan. Tentunya tanggung jawab Youtuber akan makin meningkat dan berdampak luas terhadap Youtuber lain agar patuh membayar pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Mantap Ulasannya. Mengenai pajak youtuber juga sangat sulit diukur kinerjanya karena digabungkan dengan penghasilan secara umum
Bagus banget artikelnyaa, keren gagasannya🤩