Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (kiri) berbincang dengan Dirut PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) Gita Amperiawan (kanan) di depan pesawat CN235 saat melakukan kunjungan di PTDI, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (23/7/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/YU
JAKARTA, DDTCNews - Ketua MPR Bambang Soesatyo mendorong pemerintah mengembangkan wisata medis di Indonesia melalui pemberian insentif perpajakan.
Bambang mengatakan pengembangan wisata medis memiliki beragam manfaat. Selain memudahkan masyarakat memperoleh layanan pengobatan di dalam negeri, wisata medis juga bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung.
"Sebagai tahap awal, pemerintah bisa mengkaji agar pajak terhadap alat kesehatan tidak masuk dalam kategori pajak barang mewah," katanya, dikutip pada Senin (1/8/2022).
Bambang menuturkan alat kesehatan perlu dikeluarkan dari kelompok barang mewah sehingga tidak perlu dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Hal ini utamanya diperlukan oleh alat-alat kesehatan yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Menurutnya, pembebasan PPnBM akan membuat harga alat kesehatan menjadi lebih terjangkau bagi rumah sakit. Pada akhirnya, jasa kesehatan yang ditawarkan rumah sakit juga bakal akan lebih murah sehingga meringankan biaya pengobatan masyarakat.
Bambang menyebut negara seperti Malaysia telah sejak lama mengeluarkan alat kesehatan dari daftar barang yang dikenakan PPnBM. Dampaknya, negara bagian Penang di Malaysia menjadi salah satu tujuan pengobatan yang populer, termasuk bagi masyarakat Indonesia.
Medical Tourism Index 2020-2021 mencatat hanya beberapa negara Asia Tenggara yang masuk dalam peringkat wisata medis unggulan, seperti Singapura pada nomor 2, Thailand pada nomor 17, dan Filipina pada nomor 24. Adapun Indonesia, belum berhasil masuk dalam 46 besar.
Sementara itu, hasil riset Patients Beyond Borders menunjukkan warga Indonesia sangat gemar berobat ke luar negeri. Pada 2006, hanya 350.000 WNI yang yang berobat ke luar negeri. Pada 2015, jumlah WNI yang berobat ke luar negeri menjadi 600.000 orang.
"Total pengeluaran per tahun yang dikeluarkan penduduk Indonesia untuk berobat ke luar negeri bisa mencapai US$11,5 miliar. Sekitar 80% di antaranya dihabiskan di Malaysia," ujar Bambang.
Selain alat kesehatan, ia menilai insentif fiskal juga diperlukan atas impor obat dan bahan baku obat-obatan. Menurutnya, obat-obatan biasanya menjadi komponen yang menyebabkan biaya pengobatan menjadi mahal.
Laporan Gabungan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia yang merujuk data Kemenkeu mencatat pengadaan alat kesehatan di rumah sakit pemerintah mencapai Rp9 triliun pada 2019. Pada 2020, angka itu meningkat 2 kali lipat menjadi Rp18 triliun.
Apabila pengadaan alat kesehatan di rumah sakit dari APBN digabungkan dengan anggaran APBD, BUMN, dan swasta, angkanya berkisar Rp50 triliun per tahun.
"Sangat disayangkan jika anggaran sebesar itu lebih banyak dinikmati oleh produsen alat kesehatan dari luar negeri," tutur Bambang. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
mau dikasih insentif pun. pada dasarnya kualitas dokter dan rumah sakit di Indonesia cenderung kalah dibanding Penang