PERKEMBANGAN digitalisasi makin pesat. Salah satu perkembangan yang mencolok adalah berubahnya transaksi konvensional menjadi digital. Berbagai transaksi ekonomi dilakukan melalui platform digital tanpa perlu adanya pertemuan fisik.
Perubahan mekanisme transaksi menuntut otoritas pajak berbagai negara untuk menciptakan kesetaraan hak dan tanggung jawab, baik bagi pelaku usaha yang masih bertahan secara konvensional maupun yang sudah beralih ke platform digital.
Salah satu kesetaraan yang harus diciptakan adalah terkait dengan perlakuan pelaporan pajak. Hal ini dibahas dalam jurnal karya Giorgio Beretta dengan judul The New Rules for Reporting by Sharing and Gig Economy Platforms Under the OECD and EU Initiatives yang terbit pada 2021.
Beretta menyampaikan isu tersebut telah diusung Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2020. Tepat pada 3 Juli 2020, OECD menerbitkan dokumen publik yang berisi panduan pelaporan pajak untuk sharing and gig economy.
Fokus utama Beretta adalah mempersandingkan model pelaporan pajak yang telah dibuat OECD dengan model dalam proposal yang diajukan Badan Eksekutif Uni Eropa (EU Commission).
Latar belakang masing-masing model yang diajukan ternyata memiliki spirit yang sama, yakni pertimbangan digitalisasi transaksi dapat menghilangkan bukti fisik dari adanya sebuah perusahaan. Tanpa fisik dari perusahaan tersebut, akan terbuka celah bagi perusahaan untuk ‘kabur’ dari kewajiban perpajakan.
OECD dan EU Commission melihat perusahaan berbasis digital sangat mungkin berdiri di luar kawasan sebuah negara. Hal tersebut menyebabkan isu pajak internasional karena berdampak pada perjanjian pertukaran informasi antar negara (automatic exchange of information/AeoI).
Selain dari kesamaan latar belakang, OECD dan EU Commission mendefinisikan maksud dari platform itu sendiri dengan klausa yang identik, yakni
“any software, including a website or a part thereof and application, including mobile application, accessible by users and allowing sellers to be connected to other users for the provision of relevant services [under EU Commission’s proposal: “for the purpose of carrying out a relevant activity”], directly or indirectly, to such users”
“semua peranti lunak, termasuk website, atau bagian dari website dan aplikasi, termasuk aplikasi ponsel, yang dapat diakses oleh pengguna dan memperbolehkan penjual untuk terkoneksi dengan para pengguna lainnya sehubungan dengan jasa yang relevan, baik langsung maupun tidak langsung, kepada para pengguna tersebut”.
Berdasarkan pada analisis Beretta, dapat dikatakan definisi platform sengaja dibuat luas untuk mampu mencakup seluruh transaksi yang dilakukan di dunia maya. OECD, dalam Model Rules for Reporting by Platform Operators with respect to Sellers in the Sharing and Gig Economy (MRDP), menyatakan scope yang luas ini dimaksudkan untuk memastikan panduan pemajakan tetap relevan seiring berkembangnya transaksi via platform yang dipercaya terus termodifikasi secara cepat.
Di sisi lain, terdapat perbedaan sudut pandang antara OECD dan EU Commission dalam mengklasifikasikan objek yang dapat dipajaki dalam suatu platform. OECD menilai pelaporan pajak atas transaksi jasa dari platform yang diberikan kepada user dan transaksi jual-beli di dalam platform perlu dibedakan. Bertolak belakang dengan EU Commission yang tidak membedakan hal tersebut selama sebuah platform melakukan keduanya.
Meskipun terdapat perbedaan, baik OECD maupun EU Commission sependapat untuk mengusung konsep ditunjuknya ‘reportable seller’ (penjual yang dapat melapor pajak) sebagai upaya untuk dapat memajaki pihak-pihak yang bertransaksi melalui platform.
Penjual yang dianggap dapat melapor pajak adalah ‘active seller’ atau penjual aktif dalam platform yang melakukan transaksi selama tahun pelaporan pajak. Penjual tersebut dapat merupakan penduduk (resident) atau menyewa harta tak bergerak di suatu jurisdiksi. Resident, menurut EU Commission, termasuk pihak yang khusus memiliki nomor wajib PPN (VAT identification number).
Lalu bagaimana cara mengetahui pihak yang menjadi ‘reportable seller’? Menurut OECD dan EU Commission, dibutuhkan adanya ‘reportable platform operator’, yakni platform utama para pedagang untuk melakukan due diligence agar di dalam sebuah platform dapat diklasifikasi para ‘reportable seller’ setiap tahunnya.
‘Reportable seller’ yang dirangkum dari jurnal ini dapat dikatakan memiliki tanggung jawab yang sama dengan para penjual yang berdagang secara konvensional. ‘Reportable seller’ harus mampu patuh pada pelaporan pajak bulanan dan tahunan di bawah pengawasan otoritas pajak melalui ‘reportable platform operator’.
Jurnal ini cocok dan relevan dengan perkembangan skema pemajakan ekonomi digital, terutama terkait dengan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Apalagi, dengan terbitnya Perpu 1/2020, pemerintah sudah menunjuk sejumlah perusahaan sebagai pemungut PPN produk digital.
Kebijakan tersebut menandai dimulainya penyetaraan pemajakan antara pelaku usaha online dan konvensional di Indonesia. Hingga saat ini, telah terdapat 75 badan usaha pemungut PPN produk digital PMSE yang telah ditunjuk dirjen pajak.
Selain itu, melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah juga telah mengusulkan ketentuan penunjukkan pihak lain sebagai pemungut atau memotong pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak transaksi elektronik (PTE).
Jurnal ini tentunya memuat suatu perspektif yang bisa dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan yang mampu menciptakan equal level playing field di antara para penggiat usaha. Kristiaji (2021) juga menyatakan solusi atas tantangan pajak dari perkembangan sharing and gig economy adalah perubahan administrasi.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Terimakasih Infonya DDTC