Gedung Mahkamah Konstitusi (foto: Antara)
JAKARTA, DDTCNews - Pemohon bernama Nurhidayat mengajukan permohonan pengujian materiil atas Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon meminta majelis hakim untuk menyatakan Pasal 5 ayat (2) bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “Departemen Keuangan” pada ayat tersebut tidak dimaknai “Mahkamah Agung”.
"Sehingga ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) selengkapnya berbunyi 'Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung'," tulis kuasa hukum pemohon Viktor Santoso Tandiasa, dikutip pada Kamis (9/3/2023).
Saat ini, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak mengatur pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan di Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Pemohon memandang ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut pemohon, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak tidak konsisten atau tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Pemohon memandang peran Kemenkeu dalam Pengadilan Pajak tak sesuai dengan prinsip separation of power, baik secara fungsional maupun institusional. Kewenangan Kemenkeu yang besar berpotensi menyebabkan Pengadilan Pajak tidak independen dalam menjalankan kewenangannya.
Kondisi tersebut juga dipandang bertentangan dengan prinsip independensi lembaga peradilan. Untuk mewujudkan Pengadilan Pajak yang sepenuhnya masuk dalam kekuasaan kehakiman, diperlukan pengaturan ulang atas pembinaan Pengadilan Pajak dari dual roof menjadi one roof system di bawah Mahkamah Agung.
Selama hampir 21 tahun berlakunya UU Pengadilan Pajak, pemohon menganggap masih belum ada political will dari pemerintah untuk menyerahkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan di Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung.
Akibat dipertahankannya Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, kekuasan eksekutif terus berperan dalam menentukan tata cara penunjukan hakim ad hoc; menentukan tunjangan Ketua, Wakil Ketua, hingga Hakim Pengadilan Pajak.
Kemudian, menentukan tata kerja kesekretariatan; serta mengangkat dan memberhentikan panitera. Hal seperti tidak terjadi di pengadilan-pengadilan lain yang berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Merujuk dalam laman resminya, MK telah menyampaikan pemberitahuan kepada DPD, DPR, MPR, pemerintah, dan MA perihal permohonan uji materiil dari pemohon. Namun, MK belum menentukan tanggal sidang pemeriksaan pendahuluan I.
Sembari menunggu, MK meminta kepada DPR dan pemerintah untuk mempersiapkan keterangan dan risalah pembahasan perihal permohonan yang dimaksud.
Sebagai informasi, pembahasan mengenai lembaga peradilan pajak di Indonesia juga telah diulas dalam buku terbaru terbitan DDTC berjudul Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia: Persoalan, Tantangan, dan Tinjauan Di Beberapa Negara.
Buku yang terdiri atas 186 halaman ini ditulis langsung oleh Founder DDTC, yaitu Darussalam dan Danny Septriadi, serta Assistant Manager DDTC Consulting Yurike Yuki.
Salah satu bab dalam buku ini berjudul Rezim Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia. Dalam bab ini, penulis turut mengulas mengenai prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kaitannya dengan independensi peradilan. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.