BERITA PAJAK HARI INI

Ubah Skema PPh OP, Lapisan Penghasilan Kena Pajak Bakal Ditambah

Redaksi DDTCNews | Jumat, 21 Mei 2021 | 08:03 WIB
Ubah Skema PPh OP, Lapisan Penghasilan Kena Pajak Bakal Ditambah

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Wacana perubahan lapisan (layer) penghasilan dan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi masuk dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (21/5/2021).

Pemerintah ingin menciptakan sistem perpajakan yang lebih sehat dan adil. Dalam dokumen KEM-PPKF 2022, pemerintah menyatakan reformasi PPh orang pribadi dilakukan dengan meningkatkan kualitas basis data, pelayanan, dan simplifikasi administrasi.

“Pemerintah juga berencana menambah layer pendapatan dan memperbaiki tarif PPh orang pribadi," tulis pemerintah dalam dokumen tersebut.

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Selain mengenai rencana perubahan lapisan penghasilan dan tarif PPh orang pribadi, ada pula bahasan mengenai perubahan kebijakan PPN dan perubahan tugas account representative pada kantor pelayanan pajak (KPP).

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Lebih Sehat dan Adil

Dalam dokumen KEM-PPKF 2022, pemerintah mengatakan penggalian potensi dan peningkatan administrasi pengelolaan PPh orang pribadi menjadi bagian yang perlu terus ditingkatkan. Penambahan layer penghasilan dan perbaikan tarif PPh orang pribadi juga dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih sehat dan adil.

Baca Juga:
Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Dalam ketentuan saat ini, sesuai dengan Pasal 17 UU PPh, ada 4 layer penghasilan kena pajak dengan besaran tarif PPh yang berbeda-beda. Pertama, penghasilan kena pajak sampai Rp50 juta dengan tarif 5%. Kedua, penghasilan kena pajak di atas Rp50 juta – Rp250 juta dengan tarif 15%.

Ketiga, penghasilan kena pajak di atas Rp250 juta – Rp500 juta dengan tarif 25%. Keempat, penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta dengan tarif 30%. (DDTCNews)

  • Kebijakan PPN

Dalam dokumen KEM-PPKF 2022, ada dua pokok perubahan ketentuan PPN yang sedang dipertimbangkan dan dikaji pemerintah. Keduanya adalah pengurangan fasilitas PPN serta implementasi PPN multitarif.

Baca Juga:
Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Menurut pemerintah, penerapan fasilitas PPN sesungguhnya memiliki tujuan untuk mendukung perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing. Namun demikian, pada praktiknya, pemberian fasilitas PPN dalam bentuk pembebasan justru dapat menjadi distorsi terhadap daya saing produk lokal.

Terdapat pula indikasi yang menunjukkan fasilitas PPN justru tidak tepat sasaran dan mengikis basis pemajakan. Oleh karena itu, perluasan basis PPN dengan cara mengenakan PPN terhadap barang-barang yang selama ini mendapatkan fasilitas menjadi salah satu alternatif yang dapat diambil untuk membiayai APBN. Simak ‘Ubah Kebijakan PPN, Ini Rencana yang Dipertimbangkan Pemerintah’. (DDTCNews/Kontan)

  • Tugas AR di KPP

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 45/2021, Kementerian Keuangan mengubah tugas account representative (AR) pada KPP sebagai bagian dari reorganisasi instansi vertikal di Ditjen Pajak (DJP).

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Dalam beleid itu, AR pada KPP memiliki 7 tugas. Selain itu, Kementerian Keuangan juga mengubah syarat agar pegawai DJP dapat menjadi AR pada KPP. Beleid yang diundangkan dan berlaku mulai 5 Mei 2021 ini mengubah sekaligus mencabut ketentuan dalam PMK 79/PMK.01/2015. Simak ‘Kemenkeu Tetapkan Aturan Baru Soal Tugas AR Kantor Pajak’ dan ‘PMK Baru, Syarat Jadi AR di KPP Ditjen Pajak Diubah’. (DDTCNews)

  • Pajak Karbon

Pemerintah menyiapkan setidaknya dua alternatif skema pengenaan pajak karbon. Dalam dokumen KEM-PPKF 2022 disebutkan pajak karbon termasuk salah satu dari 6 isu strategis. Namun, pajak karbon dinilai berpotensi menimbulkan biaya sehingga pengenaannya harus dipertimbangkan dengan matang.

"Dalam penerapan pajak karbon perlu dipertimbangkan pengenaan pada sisi permintaan yang lebih preferable ketimbang pendekatan dari sisi penawaran. Kebijakan penyerta berupa penguatan daya beli masyarakat juga dapat mengurangi resistensi dan dampak yang tidak diharapkan," tulis pemerintah dalam dokumen tersebut. (DDTCNews)

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%
  • Tax Ratio

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut setidaknya ada 5 kunci untuk menaikkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio dalam jangka pendek—menengah.

Sri Mulyani mengatakan optimalisasi penerimaan pajak harus dilakukan untuk mencapai konsolidasi fiskal yang adil dan berkelanjutan. Upaya itu ditempuh melalui penggalian potensi, perluasan basis perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, optimalisasi pengelolaan aset, serta inovasi layanan.

"Sehingga, angka tax ratio dapat diperbaiki dalam jangka pendek dan menengah untuk mendukung penguatan ruang fiskal," katanya. Simak beberapa ulasan mengenai penyampaian KEM-PPKF 2022 di sini. (DDTCNews) (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

21 Mei 2021 | 23:26 WIB

Diharapkan nantinya reformasi PPh Orang Pribadi dengan perubahan batas lapisan penghasilan dan tarif dapat menciptakan sistem pemajakan yang lebih adil yang disesuaikan dengan kapasitas WPOP. Di sisi lain, skema pengenaan pajak karbon yang akan diterapkan juga sebaiknya melihat penerapan pajak tersebut di negara lain sebagai bahan pertimbangan.

21 Mei 2021 | 21:40 WIB

Perubahan layer penghasilan dan tarif PPh OP ini perlu mengutamakan keadilan bagi wajib pajak, dengan kata lain tidak memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak juga menguntungkan masyarakat berpenghasilan tinggi.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?