Pemimpin Umum DDTCNews / Ketua Umum ATPETSI Darussalam dalam Talk show PPS hasil kolaborasi DDTCNews dan Ditjen Pajak (DJP) bertajuk Mengikis Keraguan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak semestinya tidak perlu ragu untuk mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS). Masih ada sisa waktu 3 bulan, hingga 30 Juni 2022 mendatang, bagi wajib pajak untuk mengungkapkan hartanya melalui program ini.
Ketua Umum ATPETSI/Pemimpin Umum DDTCNews Darussalam menyampaikan pandangannya secara gamblang terkait pelaksanaan PPS. Menurutnya, keraguan untuk mengikuti PPS tidak perlu ada. Alasannya, PPS dihadirkan sebagai jalan tengah Ditjen Pajak (DJP) dalam menyikapi masih rendahnya kepatuhan pajak.
Alih-alih menempuh jalur penegakan hukum dalam menindaklanjuti informasi ketidakpatuhan, otoritas memilih pendekatan non-konfrontatif yang berprinsip pada self assesment system. PPS, ujarnya, mewakili kepercayaan pemerintah kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri pajak terutangnya.
"Pemerintah sekali lagi ingin memberikan trust kepada wajib pajak karena ke depan sistem pajak ini akan dibangun berdasarkan kesetaraan, saling percaya, dan saling terbuka," ujar Darussalam dalam Talk show PPS yang digelar atas kolaborasi antara DDTCNews dan Ditjen Pajak, Selasa (22/3/2022).
Menariknya, Darussalam juga mengungkapkan bahwa dirinya sempat memiliki pandangan tersendiri terkait dengan PPS. Pada awal rencana penyelenggaraan PPS muncul, Darussalam mempertanyakan kebijakan tersebut.
"Awalnya, saya memiliki pandangan apakah PPS terkesan menciptakan insentif bagi ketidakpatuhan. Bagaimana perasaan wajib pajak yang selama ini patuh, kok ada PPS? Ini tanggapan awal kebijakan ini muncul," ujar Darussalam dalam acara bertajuk Mengikis Keraguan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini.
PPS, menurutnya, juga terlihat sebagai pengakuan otoritas pajak atas ketidakmampuan dalam menegakkan kepatuhan. Kemudian, penyelenggaraan PPS juga memberi ekspektasi bahwa skema serupa akan kembali digelar di masa mendatang sehingga lebih baik menunggu kesempatan berikutnya.
“Namun, dengan berjalannya waktu, pendalaman baik dari sisi teori dan international best practice, serta mempelajari kaitannya dengan Indonesia dan diskusi dengan teman-teman, saya mendapatkan alasan kuat bahwa PPS ini perlu hadir di negara yang tingkat ketidakpatuhannya cukup tinggi,” ujar Darussalam.
Darussalam meyakini sebagian besar wajib pajak yang selama ini belum patuh sebenarnya punya keinginan untuk patuh. Berdasarkan situasi ini, diperlukanlah kebijakan atau terobosan untuk membawa wajib pajak yang belum patuh menjadi sepenuhnya patuh.
“Kalau mereka yang ingin patuh dikenakan pajak dengan rezim umum pasti akan berat. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan khusus tapi jangan sampai mencederai wajib pajak patuh,” katanya.
PPS, menurut Darussalam menjadi jalan tengah terbaik yang memberi ruang bagi wajib pajak mengungkapkan hartanya dengan dikenai tarif khusus. PPS diformulasikan dengan tidak memberatkan wajib pajak yang ingin patuh dan di sisi lain tetap menjaga prinsip keadilan atau tidak mencederai keadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh.
Mengapa ketidakpatuhan menjadi argumen kuat bagi pemerintah untuk menjalankan PPS? Sebagai gambaran, per 2020 Indonesia baru memiliki 42,4 juta wajib pajak orang pribadi dan 3,5 juta wajib pajak badan. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 14,1 juta wajib pajak orang pribadi yang terdaftar wajib SPT dan 1,4 juta wajib pajak badan yang terdaftar wajib SPT.
Kemudian, dari angka di atas baru 12,1 juta WP orang pribadi dan 891.000 WP badan yang menyampaikan SPT Tahunannya.
"Artinya, selama ini penerimaan pajak Indonesia hanya ditopang oleh orang-orang tertentu saja," kata Darussalam.
Indonesia sebenarnya tidak sendirian dalam menjalankan kebijakan serupa PPS. Tercatat ada lebih dari 40 negara di dunia yang menjalankan kebijakan serupa PPS yang bernama Voluntary Disclosure Program (VDP). Tujuannya sama, mendorong kepatuhan. Ada alasan seragam yang membuat puluhan yurisdiksi dunia membuat kebijakan VDP.
Selain itu, di tengah pandemi juga terdapat tren pemberlakuan pajak yang menggarisbawahi solidaritas. Argentina misalnya, sempat menerbitkan kebijakan pajak solidaritas untuk mengenakan pajak atas kekayaan dari warga terkayanya. Negara lainnya, Kolombia, juga memerlukan kebijakan serupa selama 3 bulan, mulai Mei 2020 hingga Juli 2020.
"Dalam hal ini, PPS merupakan wujud gotong royong dan solidaritas tersebut," katanya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.