Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Topik terkait rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) per 1 April 2022 makin hangat dibicarakan publik. Hingga menjelang 2 pekan sebelum implementasi penyesuaian tarif baru, Ditjen Pajak (DJP) belum menerbitkan aturan teknis.
Situasi ini membuat sejumlah pihak menawarkan opsi penundaan kenaikan tarif PPN 11% kepada otoritas. Apalagi rencana penerapan tarif baru yang diatur dalam UU HPP ini bersamaan dengan momentum kenaikan harga sejumlah bahan pokok, plus berbarengan dengan masuknya Bulan Ramadhan pada awal April 2022.
Merespons dinamika yang terjadi, DJP pun menyampaikan pernyataan resmi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan otoritas tengah menimbang kondisi perekonomian terkini seperti inflasi dan kenaikan harga sebelum benar-benar menerapkan tarif baru PPN seperti yang diatur dalam UU HPP.
DJP, ujar Neilmaldrin, bersama dengan instansi pemerintah terkait lainnya perlu memperhatikan perkembangan harga bahan-bahan pokok dan komoditas lainnya sebelum memberlakukan tarif PPN sebesar 11% per 1 April 2022.
"Tim sedang melakukan pembahasan, aturan turunan dari undang-undangnya (UU HPP) juga sedang dalam pembahasan. Jadi kami belum tahu [naik tidaknya tarif PPN]," katanya, awal pekan ini.
Neilmaldrin mengatakan DJP terus memperhatikan perkembangan dan situasi terkini sembari menunggu kajian dari tim perumus aturan dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Secara regulasi, UU HPP memang mengamanatkan tarif PPN naik menjadi 11% pada 1 April 2022. Meski demikian, tarif terbaru tersebut bakal diimplementasikan sesuai dengan situasi terkini.
"Jadi nanti yang jelas informasinya tim inti sedang melakukan pengawasan untuk menyiapkan aturan turunannya, bagaimana nanti pelaksanaannya, mungkin di dalamnya akan ada analisa," ujar Neilmaldrin.
Artikel lengkapnya, baca Tarif PPN Jadi 11 Persen pada April 2022 Ditunda? Ini Kata DJP.
Topik lain yang cukup menyita perhatian netizen sepanjang pekan ini terkait dengan diluncurkannya e-faktur versi teranyar, yakni e-faktur versi 3.1.
DJP menyebutkan pembaruan e-faktur dilakukan untuk meningkatkan integrasi data antarkementerian. Neilmaldrin mengungkapkan ada beberapa dokumen tambahan yang memerlukan pembaruan sistem untuk memfasilitas pemrosesan dokumen tersebut.
Aplikasi e-faktur 3.1 juga berfungsi untuk peng-input-an dokumen invoice perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) pada formulir B1.
Versi terbaru ini juga berfungsi untuk pengkreditan pajak masukan yang ditagihkan dengan ketetapan pajak. Selanjutnya, aplikasi e-faktur versi 3.1 juga memfasilitasi prepopulated pemasukan barang kena pajak (BKP) atau BC 4.0 sebagaimana ketentuan Pasal 21 Ayat 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65/PMK.04/2021.
“Selain itu untuk memperbaiki bug minor yang ada di aplikasi sebelumnya,” ujar Neilmaldrin.
Berita lengkapnya, baca E-Faktur Versi 3.1 Diluncurkan, Ternyata Ini Tujuan Ditjen Pajak.
Selain 2 artikel di atas, masih ada sejumlah topik pembahasan lain yang juga ramai dibicarakan warganet. Berikut ini adalah 5 artikel pilihan DDTCNews yang sayang untuk dilewatkan:
1. Banyak Penelitian Atas Wajib Pajak Tak Jadi SP2DK, Ini Kata DJP
DJP menilai peningkatan kuantitas penelitian permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan sepanjang 2021 dibandingkan dengan tahun sebelumnya belum diikuti dengan peningkatan kualitas.
Merujuk pada Laporan Kinerja DJP 2021, persentase laporan hasil penelitian (LHPt) yang menjadi surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) pada 2021 menurun sehingga mencerminkan belum adanya peningkatan kualitas.
"Jumlah LHPt terbit secara nasional pada 2021 mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan 2020. Namun, jumlah LHPt yang menjadi SP2DK mengalami penurunan ketimbang tahun sebelumnya," jelas DJP.
Berdasarkan Laporan Kinerja DJP 2021, total laporan hasil penelitian LHPt atas wajib pajak strategis dari account representative (AR) mencapai 461.772 LHPt. Dari jumlah tersebut, sebanyak 239.881 LHPt atau 52% yang merupakan LHPt komprehensif. Pada 2020, LHPt komprehensif yang diterbitkan hanya 60.127 LHPt. Dengan demikian, terdapat pertumbuhan hingga 298%.
Selanjutnya , LHPt yang menjadi SP2DK pada 2021 mencapai 165.725 LHPt atau 69% dari total LHPt komprehensif. Pada 2020, LHPt yang menjadi SP2DK sebanyak 60.127 LHPt atau 82%.
Tak hanya itu, DJP juga mencatat hanya dari 53% dari total laporan hasil permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (LHP2DK) wajib pajak strategis yang merupakan LHP2DK berkualitas.
Pada 2021, total LHP2DK wajib pajak strategis yang terbit mencapai 257.547 LHP2DK. Namun, hanya 137.518 LHP2DK yang berkualitas.
Dari total 257.547 LHP2DK yang terbit pada 2021, sekitar 46% atau 118.432 LHP2DK di antaranya adalah LHP2DK tanpa realisasi. Adapun 39% atau 101.477 merupakan LHP2DK dengan kesimpulan dalam pengawasan.
Selanjutnya, hanya 15% atau 37.638 LHP2DK yang merupakan LHP2DK dengan kesimpulan usul pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan (bukper).
2. Lapor SPT Lewat e-Filing Dapat Notifikasi Error ERR099? Ini Saran DJP
Sejumlah wajib pajak mengeluhkan adanya kendala dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan melalui e-filing.
Berdasarkan pada pantauan DDTCNews di Twitter, beberapa wajib pajak mengeluhkan adanya kendala error dengan notifikasi 'ERR099: Proses tidak berhasil dilakukan'. Merespons keluhan itu, contact center Ditjen Pajak (DJP), Kring Pajak, meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dialami wajib pajak.
“Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Apakah masih terkendala? ERR099 kemungkinan dapat disebabkan oleh gangguan koneksi ke server, misalnya traffic yang padat,” demikian respons akun Twitter @kring_pajak.
DJP juga meminta wajib pajak untuk mencoba beberapa langkah sebagai berikut:
Jika masih terkendala wajib pajak dapat mencoba secara berkala terlebih dahulu. Wajib pajak juga dimohon untuk tidak idle terlalu lama dalam pengisian SPT melalui e-filing.
3. WP Badan Pakai Tarif PPh Final 0,5% Tapi 'Salah Setor', Ini Solusi DJP
Wajib pajak badan yang baru saja tardaftar, dalam bentuk CV misalnya, secara otomatis menggunakan tarif PPh final 0,5% seperti yang tertuang dalam PP 23/2018.
Namun, wajib pajak badan bisa saja memilih untuk membayar pajak sesuai dengan tarif umum yang tertuang pada Pasal 17 UU PPh. Dengan begitu maka wajib pajak tidak dapat menggunakan skema PPh final dalam menunaikan kewajiban perpajakannya.
Sebagaimana diperinci pada Pasal 9 PMK 99/2018, wajib pajak yang memilih membayar PPh sesuai ketentuan umum, wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 per tahun pajak pertama wajib pajak memilih dikenai PPh.
Lantas bagaimana apabila wajib pajak 'salah setor'? Seperti yang dialami oleh seorang wajib pajak yang menyampaikan unek-uneknya melalui Twitter dengan me-mention akun Ditjen Pajak (DJP), @kring_pajak.
Si pemilik akun mengaku sudah telanjur membayar PPh dengan tarif final 0,5% sesuai PP 23/2018. Namun, wajib pajak tersebut sebenarnya memilih tarif umum untuk memenuhi kewajiban pajaknya saat mendaftarkan CV-nya.
"Kalau misal kita sudah bayar tarif final 0,5% tapi ternyata awal waktu ajukan NPWP centang tarif umum, bagaimana ya? Apa bisa dilakukan perubahan untuk bisa memilih dikenai tarif final PP 23?" tanya seorang warganet tersebut.
Merespons pertanyaan tersebut, DJP menegaskan bahwa wajib pajak menggunakan tarif normal atau PPh final 0,5% ditentukan saat melakukan pendaftaran NPWP. Apabila wajib pajak sudah memilih menggunakan tarif umum, ujar otoritas, maka terhadapnya tidak bisa lagi menggunakan tarif PPh final PP 23/2018.
Terkait salah setor yang dilakukan, DJP menawarkan 2 alternatif yang dapat dilakukan wajib pajak yaitu mengajukan permohonan pemindahbukuan (Pbk) sesuai PMK-242/PMK.03/2014 atau permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai PMK-187/PMK/03/2015.
"Namun, terkait permohonan Pbk tersebut silakan Saudara konfirmasikan terlebih dahulu ke KPP terdaftar (KPP tempat pembayaran pajak diadministrasikan) mengenai bisa atau tidaknya," tulis DJP.
4. Jelaskan Soal Omzet UMKM Tak Kena Pajak, DJP: Naikkan Kapasitas Usaha
Petugas pajak kembali menemui pelaku UMKM. Kini giliran Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Mamasa di Sulawesi Barat yang mengundang sejumlah pelaku UMKM untuk menyosialisasikan ketentuan pajak terbaru bagi UMKM.
Penyuluh KP2KP Mamasa Wahyu Tio Kurniawan menyampaikan UMKM punya posisi penting dalam perekonomian nasional. Karenanya, sejumlah insentif pajak telah digelontorkan dalam beberapa tahun terakhir guna menyokong kegiatan usaha pelaku UMKM.
"Melalui PP 23/2018 misalnya, pemerintah menurunkan tarif pajak bagi orang pribadi usahawan yang melakukan pencatatan, dari awalnya 1% menjadi 0,5% atas peradaran usaha," ujar Wahyu.
Insentif pajak kemudian kembali diberikan berbarengan dengan terjadinya pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Teranyar, ujar Wahyu, pemerintah melalui UU 7/2021 tentang HPP memberikan insentif bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang membayar PPh final sesuai PP 23/2018.
"UMKM dengan peredaran usaha di bawah Rp500 juta tidak dikenakan pajak. Berbagai fasilitas dan insentif yang diberikan oleh pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kapasitas usaha UMKM yang nantinya akan kembali berputar menggerakkan roda perekonomian," kata Wahyu.
5. Ada Peluang Tarif PPN 11% Ditunda, Kemenkeu Diminta Buat Kajian Baru
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah membuat kajian baru dan melakukan konsultasi dengan parlemen apabila ingin menunda implementasi tarif PPN sebesar 11%.
Sebagaimana ketentuan dalam UU HPP, tarif PPN akan naik dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022.
"Badan Kebijakan Fiskal (BKF) harus membuat kajian yang merupakan alasan penundaan, termasuk di dalamnya dampak terhadap fiskal dan makroekonomi," kata Andreas.
Andreas mengatakan BKF Kementerian Keuangan perlu memikirkan keberlangsungan fiskal untuk jangka pendek hingga menengah. Sebab, dia mengingatkan bahwa tahun ini merupakan batas akhir pemerintah melonggarkan defisit APBN lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kemudian pada APBN Tahun Anggaran 2023 defisit harus berada di bawah 3% terhadap PDB. Artinya, pemerintah disadari memang perlu menggenjot penerimaan pajak agar defisit bisa ditekan.
"Makanya karena tahun ini batas akhir, butuh waktu transisi bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tahun ini, salah satunya PPN," ujarnya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.