PADA era industri 4.0, komputasi awan (cloud computing) bukan sekadar tren. Cloud computing menjadi pendorong utama perdagangan elektronik dan telah menghasilkan lebih dari US$150 miliar setiap tahun. Hal ini menunjukkan hampir semua industri memindahkan operasinya ke dalam cloud.
Cloud mengacu pada layanan teknologi informasi yang memungkinkan suatu bisnis berbagi sumber daya komputasi seperti perangkat lunak, ruang penyimpanan, basis data, dan infrastruktur lain. Cloud menawarkan efisiensi biaya dan layanan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan pengguna.
Meski cloud computing memberikan keuntungan besar bagi pelaku industri, cloud juga dapat menimbulkan masalah pajak. Masalah yang timbul berasal dari penerapan aturan penetapan harga transfer ke perusahaan multinasional yang menyediakan layanan cloud secara internal. (Mazur, 2016)
Cloud computing memiliki tiga jenis layanan, yaitu SaaS, Paas, dan IaaS. Ketiga layanan tersebut bukanlah aset fisik atau aset keuangan melainkan aset tidak berwujud sehingga terdapat beberapa kesulitan dalam penerapan prinsip kewajaran harga transfer pada cloud computing (OECD, 2012).
Sampai saat ini, penentuan nilai transaksi aset tidak berwujud menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Penilaian aset tidak berwujud menimbulkan kesulitan terhadap penilaian harga transfer oleh otoritas pajak untuk setidaknya karena tiga alasan. (Tian, 2018)
Pertama, kurangnya pembanding. Selama ini, pembanding untuk menguji kewajaran harga transfer atas transaksi aset tidak berwujud yang relevan hampir tidak ada karena aset tidak berwujud memiliki keunikan sendiri. Cloud punya fitur unik dalam produk/layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Kedua, kompleksitas paket cloud computing dan struktur bisnis perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE). Dalam praktik, transaksi cloud computing biasanya dikombinasikan dengan paket aset berwujud atau jasa lain yang berhubungan seperti adanya jasa teknologi informasi.
Situasinya lebih sulit lagi ketika aset tidak berwujud itu disediakan afiliasi di wilayah hukum berbeda. Misalnya, perusahaan di negara berkembang memiliki induk di luar negeri. Biasanya wajib pajak lokal hanya memberikan informasi tentang operasi mereka, bukan keseluruhan struktur jasa intra-grup.
Selain itu, banyak MNE mengadopsi perjanjian layanan biaya (cost service arrangement) untuk pengaturan harga transfer aset tidak berwujud. Sejak sebagian besar jasa intra-grup dibebankan dengan metode biaya langsung, aplikasi prinsip kewajaran menjadi lebih sulit. Otoritas pajak harus memiliki akses penuh ke perjanjian tersebut untuk memahami rantai pembentukan nilai MNE.
Ketiga, kurangnya informasi terkait dengan transaksi aset tidak berwujud dalam laporan keuangan perusahaan. Secara umum, aset tidak berwujud, selain paten, sangat sulit dideteksi karena mereka biasanya tidak dilaporakan dalam laporan keuangan grup.
Laporan aset tidak berwujud hanya diperlakukan sebagai pelengkap. Sebagian besar royalti, lisensi, dan manajemen biaya hal-hal yang tidak berwujud, termasuk hak atas kekayaan intelektual dan cloud, adalah pembayaran intra-grup yang mengalir dari MNE afiliasi asing ke perusahaan induk MNE.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa sebagian besar tantangan penetapan harga transfer terkait dengan cloud merupakan hal yang umum yang didasarkan pada sulitnya penilaian aset tidak berwujud.
Panduan OECD
ADOPSI Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dan revisi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Transfer Pricing Guidelines bisa dibilang memiliki implikasi signifikan terhadap perpajakan aset tidak berwujud, termasuk pengaturan harga transfer cloud.
Melalui keduanya, OECD bertujuan mengadopsi cara yang terkoordinasi dan komprehensif dalam mengatasi perencanaan pajak internasional yang agresif, dan untuk memberikan instrumen yang akan lebih menyelaraskan hak atas pajak dengan kegiatan ekonomi.
Dengan kata lain, OECD menegaskan kembali prinsip yang sangat penting untuk justifikasi yurisdiksi pajak internasional, bahwa ‘laba dipajaki di mana kegiatan ekonomi terjadi’. Prinsip ini bisa dibilang menjadi dasar dalam analisis harga transfer cloud. (Tian, 2018)
Laporan OECD Action 1 on Tax Challenges of the Digital Economy menegaskan metode pembagian laba (profit split) dalam transfer pricing mungkin lebih dapat diandalkan daripada metode tradisional satu sisi dalam keadaan tertentu.
Integrasi yang tinggi serta fragmentasi fungsi dan risiko MNE membawa tantangan signifikan dalam menemukan pembanding. Oleh karena itu, metode profit split dapat dipandang sebagai sarana untuk mencapai keselarasan antara laba dan penciptaan nilai. (Boos, 2003).
Dalam konteks cloud, profit split akan meningkatkan kemampuan otoritas pajak mencegah MNE dari perencanaan pajak yang menghasilkan BEPS. Dengan profit split, wajib pajak wajib membuktikan alokasi laba residualnya sejalan dengan fungsi substantif yang menciptakan laba residu MNE.
Dalam kondisi ini, wajib pajak tidak dapat mengalokasikan sebagian besar keuntungannya bagi afiliasi di negara yang berbasis pajak rendah jika afiliasi tersebut menyediakan aset tidak berwujud nonrutin dan jasa nonrutin.
Misalnya, jika cloud service provider (CSP) yang terdaftar di negara tax heaven tidak memiliki fungsi bisnis substantif di sana, tidak akan mendapatkan alokasi laba atau zero allocation. (Wells & Lowell, 2014)
Dalam praktik, tantangan dalam menerapkan metode profit split tetap ada karena ketidakpastian dalam mengidentifikasi, menemukan, dan mengevaluasi pendorong nilai dalam value chain global MNE terkait dengan cloud.
Hal ini disebabkan teknologi cloud computing pada hakikatnya tanpa batas. Ketidakpastian tersebut memberikan dampak langsung pada penentuan kontribusi dari masing-masing afiliasi. Karena itu, perlu panduan tambahan dari otoritas pajak untuk membantu dalam pengaturan cloud computing.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
metode profit split dalam praktik untuk pengujiannya akan sangat menyulitkan otoritas pajak dalam mengukur proporsionalitasnya krn harus menguji keseluruhan performa dari entitas.