TAHUN 2019 menjadi puncak tahun politik bagi bangsa Indonesia, setelah pada pertengahan 2018 kita mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah, yaitu di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Pada tahun politik ini bidang ekonomi mendapat sorotan. Jika kita membahas ekonomi, tentu memiliki kaitan erat dengan pajak, yang sumbangannya mencapai 70% dari total penerimaan negara. Pajak memiliki fungsi yang sangat dominan, karena tanpa pajak, negara bisa dikatakan lumpuh.
Pada tahun politik ini, kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sangat membutuhkan suara masyarakat. Oleh karena itu, isu perpajakan menjadi salah satu bagian dalam visi-misi program kerja kedua pasang capres dan cawapres untuk menarik simpati masyarakat.
Kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin, mengusung dua program. Pertama, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan kemandirian ekonomi nasional dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya asing.
Kedua, memberikan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Progam yang dijalankan Jokowi tentu menjadi kelanjutan dari progam kerjanya pada 2014-2019, karena pasti masih ada beberapa progam kerja di berbagai sektor yang belum terlaksana.
Sedangkan dari kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, akan menaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan PPh Pasal 21, penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama, dan penghapusan birokrasi yang menghambat kinerja perpajakan.
Apabila dilihat, progam kerja Prabowo-Sandi mengambil contoh dari Amerika Serikat (AS), di mana Donald Trump selaku presiden menurunkan tarif pajak. Hal ini memiliki maksud yang baik, yaitu agar daya beli masyarakat mengalami kenaikan yang signifikan.
Namun, keputusan ini juga memiliki risiko tinggi, karena dengan begitu penerimaan negara melalui pajak mengalami penurunan. Apabila program tersebut terlaksana, pemerintah harus siap siaga dalam menutup tambahan utang negara.
Apapun visi dan misi Jokowi-Ma’aruf dan Prabowo-Sandi tentu memiliki keunggulan dan kelemahan. Namun, mereka harus memikirkan secara matang niat mereka demi kemajuan Indonesia. Menjadi hak rakyat untuk menentukan siapa pemimpin Indonesia dalam periode 5 tahun mendatang.
Berpindah dari permasalahan visi dan misi kedua pasangan capres dan cawapres itu, tantangan lain penerimaan pajak justru datang dari kinerja perekonomian domestik. Target penerimaan negara para APBN 2019 sebesar Rp2.142,5 triliun nyatanya masih memiliki cukup banyak risiko.
Hal ini terjadi karena perekonomian domestik belum mencapai target 100% dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah lagi, pemerintah menggunakan pengeluaran negara untuk memengaruhi keadaan ekonomi yang semakin memperlambat gerakan penerimaan perpajakan.
Hal ini, seperti dilansir www.cbcnindonesia.com, semakin diperparah dengan rendahnya harga komoditas global, terjadi pembatasan penambangan dan ekspor tanpa diiringi penambahan pada komoditas tertentu.
Faktor lain yang menyebabkan tidak tercapainya target pajak adalah pertama, lemahnya kepatuhan wajib pajak. Sampai saat ini, tingkat kepatuhan pajak individu masih sangat rendah. Hal ini tentu memicu shortfall penerimaan pajak yang akan sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia.
Karena itu, dibutuhkan kesadaran wajib pajak yang harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Sebagai contoh, sebagai orangtua kita harus memberi contoh tepat waktu membayar uang sekolah dengan begitu anak akan belajar atau mengajarkan anak untuk membayar uang kas kelas.
Kedua, shadow economy, yang bisa diartikan sebagai kegiatan produksi barang atau jasa yang nilainya tidak tercermin dalam perhitungan produk domestik bruto. Biasanya kegiatan ini dilakukan dengan tujuan menghindari kewajiban pajak dan pemenuhan standar lain yang telah ditentukan.
Contoh kegiatan shadow economy juga dapat kita temukan dalam kehidupan seperti penjualan barang-barang tiruan/ bajakan, penambangan ilegal, penyeludupan barang luar negeri tanpa melalui bea cukai, dan masih banyak lagi.
Ketiga, struktur penerimaan pajak yang tidak berimbang menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target penerimaan. Struktur penerimaan pajak Indonesia didominasi pajak tidak langsung, terutama PPh Badan dengan porsi 25%-28% dari pendapatan pajak dalam negeri,
Di negara maju, PPh Badan hanya menyumbang sekitar 11% pada penerimaan perpajakan. Struktur ini memberikan kerentanan terhadap penerimaan pajak karena berkorelasi langsung dengan kinerja sektor tertentu.
Keempat, rendahnya tax buoyancy. Pertumbuhan nominal ekonomi harus sama dengan pertumbuhan nominal pajak. Namun, Indonesia belum bisa menyetarakan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pajak. Hal ini dikarenakan masih tingginya shadow economy dan rendahnya kepatuhan pajak.
Kelima, rumitnya administrasi dan perubahan kebijakan perpajakan yang dinamis. Melihat dari 5 masalah di atas, sebenarnya bukanlah hal yang sulit untuk bisa menaikan penerimaan pajak. Hal yang dibutuhkan hanyalah kesadaran untuk membayar pajak tepat waktu dan tidak membeli barang tiruan.
Pemerintah juga berperan penting untuk mengadakan sosialiasi perpajakan dan menindak tegas permasalahan shadow economy. Untuk itu, mari kita sukseskan perekonomian negara kita dengan tidak hanya menuntut hak kita, tetapi juga memenuhi kewajiban kita sebagai warga negara.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.