Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers. (tangkapan layar Youtube Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Indonesia memperoleh kucuran dana US$103,78 juta atau Rp1,52 triliun sebagai pembayaran berbasis hasil (result base payment/RBP) dari komunitas global di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), Green Climate Fund (GCf).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan kucuran dana itu diberikan kepada negara berkembang dalam upaya memitigasi perubahan iklim. Salah satunya melalui pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebagai upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan.
"Hal ini menjadi bukti komitmen dan kinerja Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim," katanya, Kamis (27/8/2020).
Siti mengatakan Indonesia telah berjanji akan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 29% dan apabila dengan dukungan internasional mencapai 40%. Progres penurunan emisi harus dilaporkan untuk memperoleh verifikasi dari tim teknis independen yang ditunjuk Sekretariat UNFCCC.
Hasil verifikasi itulah yang menjadi dasar pemberian kucuran dana untuk Indonesia. Menurut Siti, dana itu juga harus digunakan untuk kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca akibat karhutla atau reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD+).
Siti mengklaim angka deforestasi hutan menunjukkan tren menurun sejak 1996. Pada periode 1996-2000, angka deforestasi mencapai 3,51 juta hektar per tahun. Namun, pada periode 2011-2017 angka deforestasi hanya 674.000 hektar per tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan Indonesia menjadi negara pertama di luar Amerika Latin yang mengakses dana tersebut. Dana itu akan diberikan setelah Indonesia mampu mengurangi emisi 20,25 juta ton pada 2014—2016.
Menurutnya, kucuran dana yang diperoleh Indonesia lebih besar dibanding negara lain. Misalnya, Brasil mendapat senilai US$96,45 juta pada 2018, Ekuador US$18,57 juta pada 2019, Cile US$63,60 juta pada 2019, serta Paraguay US$50 juta pada 2019.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut Kementerian Keuangan juga turut memberikan dukungan untuk menekan emisi gas rumah kaca di Indonesia. "Kita butuh dana sangat besar dalam rangka bisa menjalankan NDC [nationally determined contribution] kita. Untuk itu, Kemenkeu sudah mengembangkan climate budget tagging," ujarnya.
Sejak 2016, alokasi anggaran untuk mengatasi perubahan iklim rata-rata senilai Rp89,6 triliun per tahun. Artinya, sejak 2020 Indonesia telah mendanai sekitar 34% dari total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim hingga 2020 yang diperkirakan mencapai Rp3.461 triliun.
Selain mengalokasian dana, Sri Mulyani juga mendukung penanganan emisi melalui instrumen fiskal, yakni memberikan tax holiday dan tax allowance untuk sektor energi terbarukan. Ada pula pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk untuk sektor energi terbarukan, termasuk di dalamnya energi panas bumi. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.