LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Strategi Pengamanan Pajak di Tahun Politik

Redaksi DDTCNews | Minggu, 13 Januari 2019 | 11:37 WIB
Strategi Pengamanan Pajak di Tahun Politik
Tika Ayu Agustiani, D4 Akuntansi PKN STAN.

REALISASI penerimaan pajak pada 2018 mencapai Rp1.315,9 triliun atau 92,4% dari target Rp1.424 triliun. Performa tersebut mencatatkan pertumbuhan sekitar 14,3% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya senilai Rp1.151 triliun. Kenaikan ini didorong oleh kuatnya daya beli masyarakat, kenaikan harga komoditas, dan strategi pengamanan pajak yang tepat dari DJP. Hal ini diharapkan dapat terulang pada tahun ini, bersamaan dengan momentum pesta demokrasi.

Pada 2019, penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.577,6 triliun, tumbuh sekitar 20% dari realisasi APBN 2018. APBN 2019 ditetapkan dengan tema utama yaitu adil, sehat, dan mandiri. Kementerian Keuangan mencanangkan defisit anggaran yang semakin rendah, keseimbangan primer menuju arah positif, penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan, peningkatan lapangan kerja, dan kenaikan pertumbuhan penerimaan pajak untuk mengurangi utang.

Dengan target yang semakin tinggi, DJP menghadapi berbagai tantangan di tahun politik. Tantangan yang dihadapi diantaranya adalah praktik transfer pricing yang tidak wajar, pemajakan atas ekonomi digital, serta stabilitas politik dan ekonomi. Pemerintah menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Meskipun beberapa ahli menyebut angka ini realistis, beberapa pihak lainnya berpendapat angka ini terlalu tinggi. Bagaimanapun, performa kinerja pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh besar terhadap realisasi penerimaan pajak.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah perlu mengambil strategi yang tepat agar daya beli masyarakat terjaga dan kepatuhan pajak meningkat. Beberapa strategi yang dapat diambil pemerintah meliputi intensifikasi terhadap wajib pajak besar, bentuk usaha tetap (BUT), dan penanaman modal asing (PMA). Selain itu, DJP bisa mengatur dan memanfaatkan big data. Strategi dalam pemajakan atas ekonomi digital dan optimalisasi pajak dari UMKM bisa dijalankan. Selanjutnya, DJP bisa memperbaiki mekanisme withholding tax dan meningkatkan layanan perpajakan.

Intensifikasi terhadap wajib pajak besar, BUT, dan PMA dilakukan dengan peningkatan pengawasan, pelaksanaan audit berbasis risiko, dan implementasi BEPS Action Plan. Penggerusan basis pajak dan pengalihan laba melalui mekanisme transfer pricing dan transaksi multinasional lainnya perlu ditanggulangi agar penerimaan pajak domestik meningkat. Data yang diperoleh dari automatic exchange of information (AEoI) dan TP Document perlu dianalisis serta dimanfaatkan secara optimal.

Pemanfaatan big data dilakukan dengan mewajibkan wajib pajak tertentu memberikan data kepada otoritas pajak. DJP perlu mewajibkan platform penyedia layanan jual—beli daring untuk melaporkan omzet secara bulanan. DJP mengumpulkan data penjualan mitra/penjual yang memanfaatkan marketplace sebagai sarana jual—beli dan melakukan analisis atas data tersebut.

Pemerintah juga dapat mewajibkan penyedia jasa transportasi, logistik, dan ekspedisi untuk memberikan laporan terkait pengiriman barang. Data tersebut diolah kantor pusat DJP dan didistribusikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berwenang. Data tersebut dianalisis oleh DJP dan dilakukan penyandingan dengan transaksi yang dilaporkan wajib pajak melalui SPT Masa PPN dan SPT Tahunan.

Kebijakan lain yang perlu ditempuh pemerintah adalah pemajakan ekonomi digital. Beberapa kebijakan yang dapat diambil pemerintah di antaranya melalui penguatan basis data perpajakan, peningkatan pemahaman perpajakan pelaku usaha, kampanye sadar pajak, dan ekstensifikasi terhadap pelaku usaha e-commerce, content creator, dan influencer media sosial. Selain itu, diperlukan pengaturan terkait financial technology seperti pemotongan dan pemungutan pajak atas pinjaman peer to peer yang selama ini belum memiliki kerangka regulasi yang jelas.

Perbaikan mekanisme withholding tax dapat diterapkan melalui peraturan yang mendorong wajib pajak untuk patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Konsep pay as you earn perlu ditekankan agar wajib pajak nyaman dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Salah satu contohnya adalah pemotongan PPh 21 atas penghasilan yang diterima pegawai yang memperoleh penghasilan pada lebih dari satu pemberi kerja. Dalam konteks tersebut, seharusnya ada fleksibilitas bagi pemotong untuk memotong pajak lebih tinggi dari tarif yang selama ini diatur. Hal ini dilakukan agar pada akhir tahun, jumlah kurang bayar yang terutang oleh wajib pajak menjadi lebih kecil. Selain meringankan wajib pajak, pemerintah mendapatkan manfaat dari kepastian penerimaan pajak dalam waktu yang lebih cepat.

Selanjutnya, untuk mengoptimalkan penerimaan pajak UMKM, pemerintah telah merevisi PP 46/2013 dengan PP 23/2018. Meskipun berdampak secara langsung terhadap berkurangnya penerimaan pajak, insentif tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah wajib pajak baru, meningkatkan kepatuhan, dan memberikan keadilan bagi pelaku UMKM. Pada level pelaksanaan, DJP melalui seksi ekstensifikasi pada KPP dapat melakukan pendataan UMKM serta memberikan penyuluhan dan bimbingan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Terakhir, peningkatan layanan perpajakan merupakan proses yang dilakukan DJP secara terus menerus. Kemudahan dalam administrasi perpajakan dan perolehan informasi akan mendorong masyarakat lebih patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Pengembangan platform elektronik dan aplikasi perpajakan yang user friendly diperlukan agar wajib pajak merasa puas dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela.

Enam strategi tersebut diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan penerimaan pajak dan mencapai target penerimaan pajak di tahun politik.*

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN