KEMAJUAN teknologi informasi dan komunikasi telah memicu perubahan di berbagai aspek, tidak terkecuali aktivitas ekonomi atau yang akrab disebut ekonomi digital. Perkembangan ekonomi digital pada gilirannya membuka peluang peningkatan pendapatan negara melalui pajak. Oleh karena itu, reformasi perpajakan diperlukan untuk mengoptimalkan realisasi potensi penerimaan.
Reformasi perpajakan telah dilakukan oleh banyak negara dalam menghadapi ekonomi digital. Beberapa diantaranya adalah Jepang, Australia, dan India. Jepang telah memberlakukan Consumption Tax on E- services sebesar 8% untuk penyediaan layanan digital bagi penduduk Jepang mulai 1 April 2014.
Sementara, Australia telah mengeluarkan undang-undang baru dalam menerapkan Good and Service Tax (GST) untuk penjualan layanan dan produk digital internasional mulai 1 Juli 2017. Selain itu, India juga telah memperkenalkan reformasi perpajakannya guna menghadapi ekonomi digital melalui equalization levy mulai 29 Februari 2016.
Equalization levy ini ditujukan kepada pajak business to business (B2B) e-commerce. Tarif ditetapkan sebesar 6% dan berlaku sejak tanggal 1 Juni 2016. Equalization Levy merupakan pajak baru untuk layanan berupa iklan online atau ruang iklan digital atau fasilitas lain (layanan untuk tujuan iklan online).
Pengenaan equalization levy dilakukan dengan dua syarat. Pertama, pembayaran dilakukan kepada penyedia layanan non-penduduk yang tidak memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di India. Kedua, pembayaran yang tidak melebihi 100.000 rupee per satu penyedia layanan dalam satu tahun buku.
Saat ini Equalization Levy hanya menekankan pada layanan iklan digital. Namun, terdapat perluasan pengenaan di masa depan yaitu untuk pengembang web, penyedia layanan bergerak di bidang upload, distribusi konten digital, pengolahan data perusahaan secara online, gateway pembayaran, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, terdapat peluang baru dari sisi penerimaan negara. Biaya iklan online yang dibayarkan oleh pelanggan India kepada perusahaan asing seperti Google dan Facebook berdampak positif pada penerimaan negara. Pada 2017-2018, penerimaan pajak yang didapat lebih dari 7 miliar rupee, lebih tinggi dibandingka 10 bulan sebelumnya senilai 3,15 miliar rupee.
Melihat keberhasilan reformasi perpajakan di India, pemerintah Indonesia dapat mencontohnya. Apalagi, sistem perekonomian di kedua negara ini mirip. Saat ini, ekonomi digital di Indonesia memiliki potensi besar, bahkan diprediksi mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Tidak mengherankan jika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No.74/2017 mengenai Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional berbasis Elektronik untuk mendukung dan mengoptimalkan potensi ekonomi digital. Secara umum, belum terdapat peraturan khusus terkait pengenaan pajak atas kegiatan ekonomi berbasis digital di Indonesia.
Untuk meningkatkan penerimaan negara, pemerintah diharapkan segera meluncurkan peraturan baru yang dikemas secara informatif demi memberikan kemudahan bagi pihak yang akan dikenakan pajak sehingga asas easy of administration dan asas simplicity terpenuhi.
Saat ini, kegiatan ekonomi digital yang banyak dilakukan adalah kegiatan promosi produk menggunakan media elektronik. Iklan online sangat penting dalam usaha yang patut dipertimbangkan sebagai strategi marketing.
Pemungutan PPN
BERDASARKAN penelitian We Are Social dan Hootsuite yang tertuang dalam laporan ‘Digital Around The World’, lebih dari 150 juta orang Indonesia adalah pengguna aktif di internet. Dengan demikian, iklan online menjadi alternatif yang tepat bagi perusahaan untuk menawarkan produknya. Iklan online dinilai lebih efisien dalam menjaring calon konsumen dibandingkan cara konvensional door to door.
Kondisi itu pada gilirannya membuat jasa iklan online sebagai media pemasaran yang sangat diminati, mengingat pengguna aktif media sosial sekitar 56% dari jumlah populasi penduduk Indonesia. Oleh karena itu, penulis mengusulkan sistem administrasi perpajakan untuk memungut pajak atas kegiatan ekonomi digital khususnya pelayanan iklan online atau ruang iklan digital.
Sistem administrasi tersebut berupa penetapan jasa iklan online sebagai Jasa Kena Pajak (JKP) dikarenakan jenis aktivitas tersebut tidak temasuk dalam negative list atau jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN). Dengan demikian, atas pengunaan jasa iklan online akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10%.
Secara umum, PPN atas jasa iklan online dapat dikenakan atas dua hal. Pertama, penyerahan JKP dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Pengusaha yang dimaksud adalah pengusaha penyedia jasa iklan online yang diwajibkan melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Kewajiban tersebut tetap berlaku bagi pengusaha penyedia jasa iklan online yang memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013. Pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN yang terutang dilakukan oleh PKP yang penghitungan dan tata caranya diatur Undang – Undang No. 42 Tahun 2009.
Kedua, pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Jasa yang berasal dari luar daerah pabean yang diberikan oleh orang pribadi atau badan – yang tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP – dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean.
Pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan JKP tersebut. Adapun penghitungan dan tata caranya diatur dalam PMK No.40/PMK.03/2010.
Agar pemajakan tersebut dapat dilakukan secara optimal, ada beberapa hal yang perlu diupayakan oleh Ditjen Pajak (DJP). Pertama, DJP bekerja sama dengan perusahaan akun media sosial Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk mendukung regulasi tersebut.
Kedua, DJP harus menyiapkan sistem untuk melacak semua transaksi penggunaan jasa iklan online guna menunjang pemajakan atas aktivitas tersebut. Ketiga, pembentukan tim ahli teknologi digital untuk menjalankan dan memelihara sistem yang sudah dibuat.
Bagaimanapun, berkembangnya iklan online diharapkan dapat meningkatkan pendapatan penyedia maupun pengguna jasa iklan online. Sehingga, potensi pajak atas transaksi iklan online di era ekonomi digital ini dapat terealisasi secara maksimal. Harapannya, pemerintah segara menerbitkan regulasi mengenai pengenaan PPN atas jasa iklan online. *
*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.