Tampilan depan DJP Online.
JAKARTA, DDTCNews – Pelaporan SPT masa PPh hasil unifikasi direncanakan akan terintegrasi melalui DJP Online. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (14/1/2020).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan dalam jangka pendek, pelaporan SPT masa PPh hasil unifikasi masih akan menggunakan aplikasi secara terpisah dari DJP Online.
“Sementara iya [terpisah]. Nanti, ke depan, [pelaporan SPT masa PPh] akan melalui DJP Online,” katanya.
Seperti diketahui, proses unifikasi ini menyasar SPT masa yang dilaporkan oleh wajib pajak (WP) badan atau orang pribadi yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak (pot/put). Simak artikel ‘Sebenarnya, Apa Itu Unifikasi SPT Masa PPh?’.
Hestu mengatakan yang masuk dalam unifikasi SPT masa PPh adalah PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Pasal 4 ayat (2). Baca artikel ‘Penjelasan DJP Mengapa Unifikasi Hanya Mencakup 4 Jenis SPT Masa PPh’.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti masih adanya ketidakselarasan pergerakan penerimaan pajak dengan pertumbuhan ekonomi, terutama di beberapa sektor utama. Pemerintah diminta memetakan penyebab kondisi ini masih terus terjadi.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan dalam unifikasi SPT masa PPh, DJP tetap akan menyediakan skema pelaporan secara manual. Namun, DJP akan mengarah pada skema pelaporan secara daring melalui e-Filing di DJP Online.
“Ya nanti kalau SPT kan disiapkan manualnya tapi juga yang online SPT juga ada. Kita pasti arahnya ke sana, e-Filing,” tutur Hestu.
Seperti diketahui, hingga saat ini, DJP masih melakukan uji coba (piloting) unifikasi SPT masa PPh dengan PT Pertamina (Persero). Hasil evaluasi uji coba unifikasi SPT masa PPh pada akhir kuartal I/2020 akan menjadi penentu langsung diterapkan atau tidaknya kebijakan secara nasional.
Pemerintah diminta untuk memetakan adanya ketidakselarasan pergerakan penerimaan pajak dengan pertumbuhan ekonomi, terutama di beberapa sektor utama. Pasalnya, hingga akhir 2019, masih banyak sektor yang memiliki kontribusi penerimaan pajak yang tidak sejalan dengan kontribusi terhadap produk domestik brutonya.
Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan struktur penerimaan pajak idealnya selaras dengan struktur perekonomian. Ketidaksesuaian muncul karena masih terdapat tax gap atau potensi pajak yang belum sepenuhnya bisa dipajaki.
“Dalam kondisi ideal tersebut, tax buoyancy suatu negara akan berada dalam angka ideal atau setidaknya di angka 1. Pemerintah perlu memetakan mengapa tidak ada keselarasan antara sektor ekonomi dan sektor penerimaan pajak,” ujarnya.
Aturan baru de minimis impor barang kiriman mulai berlaku 30 Januari 2020. Ketentuan ini termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.199/2019. Dalam beleid itu, nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari sebelumnya US$75 diturunkan menjadi US$3 per kiriman.
Beleid tersebut juga merasionalisasi tarif dari semula berkisar antara 27,5% - 37,5% yang terdiri atas pungutan bea masuk 7,5%, PPN 10 %, PPh 10% dengan NPWP, dan PPh 20% tanpa NPWP. Kebijakan tersebut kemudian diubah menjadi sekitar 17,5% yang terdiri dari bea masuk 7,5%, PPN 10%, PPh 0%.
Ketua Satuan Tugas RUU Cipta Lapangan Kerja Rosan Roeslani menyatakan pemerintah dan pengusaha masih menerima masukan terkait omnibus law tersebut. Pembahasan rancangan beleid ini akan dilakukan secara menyeluruh dan tidak lagi per klaster.
“Kami hanya menyempurnakan yang sudah ada agar saat implementasi di lapangan bisa berjalan,” katanya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.