REVISI UU KUP

Soal Rencana Program Ungkap Aset Sukarela, Ini Saran Darmin Nasution

Dian Kurniati | Rabu, 07 Juli 2021 | 16:41 WIB
Soal Rencana Program Ungkap Aset Sukarela, Ini Saran Darmin Nasution

Darmin Nasution. 

JAKARTA, DDTCNews – Mantan Dirjen Pajak dan Menko Perekonomian Darmin Nasution memberikan beberapa catatan mengenai rencana program pengungkapan aset secara sukarela yang diusulkan melalui revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Catatan pertama mengenai periode perolehan atau kepemilikan aset yang diungkapkan. Menurut Darmin periodenya terlalu panjang karena dimulai sejak 1985. Pemerintah, sambungnya, perlu memperhatikan durasi program agar efektif mendorong kepatuhan para wajib pajak.

"Di RUU ini ada pelaporan kekurangan pembayaran PPh di masa lalu, tapi panjang sekali periodenya," katanya dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Rabu (7/7/2021).

Baca Juga:
Tren Rasio Kepatuhan Wajib Pajak 2019-2023, Karyawan Paling Tinggi

Darmin mengatakan program pengungkapan aset sukarela akan memengaruhi kepatuhan wajib pajak. Walaupun tidak bernama amnesti pajak (tax amnesty), publik bisa berpandangan pemerintah akan kembali mengadakan program serupa pada masa yang akan datang.

Darmin kemudian membandingkannya dengan program sunset policy yang diadakan ketika dia menjabat dirjen pajak pada 2008. Saat itu, pemerintah hanya membatasi periodenya 3 tahun ke belakang, khusus untuk sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.

Walaupun periode pengungkapannya pendek, Darmin menyebut pajak yang dibayarkan sudah tergolong besar. Hal itu terjadi karena DJP mendorong semua pengusaha besar berpartisipasi dan menerapkan metode benchmarking atas pajak yang harus dibayarkan.

Baca Juga:
Wakil Ketua Banggar DPR: Tax Amnesty Bisa Perkuat Likuiditas Nasional

Pada program sunset policy, sebuah perusahaan kelapa sawit bisa membayar kekurangan pembayaran pajak hingga Rp1 triliun, sedangkan perusahaan batu bara berkisar Rp700 miliar sampai Rp1,2 triliun. Belum lagi jika ada perusahaan yang masuk ke proses penyidikan sehingga harus membayar denda 400%.

Selain soal periode perolehan harta, Darmin juga menyoroti rendahnya tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak. Menurutnya, wajib pajak yang mengungkapkan aset yang dimiliki pada periode 2007-2015 cukup diberikan pembebasan denda, tidak perlu sampai mendapatkan tarif khusus.

Darmin kemudian memberikan ilustrasi skema yang lebih dinilainya lebih ideal. Pengungkapan aset sepanjang 1985 hingga program sunset policy dapat dikenakan tarif pajak 15% atau 12% jika diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN) sekurang-kurangnya 5 tahun.

Baca Juga:
Jumlah Kelas Menengah Terus Menyusut, Kenaikan PPN Bakal Memperburuk?

"Setelah itu, dari 2007 sampai 2015, kalau perlu hanya dibebaskan dendanya saja kalau dia melapor. Tarifnya normal saja, 30% atau 25% kalau gunakan dananya untuk SBN selama paling kurang 5 tahun," ujarnya.

Dalam rancangan revisi UU KUP, terdapat 2 skema kebijakan dalam program pengungkapan aset sukarela. Pada kebijakan I, pengungkapan aset hingga 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan saat tax amnesty akan dikenakan PPh final 15% dari nilai aset atau 12,5% dari nilai aset jika diinvestasikan dalam SBN yang ditentukan pemerintah.

Melalui kebijakan tersebut, wajib pajak akan diberikan penghapusan sanksi. Pada wajib pajak yang gagal menginvestasikan asetnya dalam SBN, harus membayar 3,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi atau membayar 5% jika ditetapkan DJP.

Baca Juga:
Kebijakan Prabowo Naikkan PPN dan Tax Amnesty, Kejar Tambahan Modal?

Sementara pada kebijakan II, pengungkapan aset wajib pajak orang pribadi yang diperoleh pada 2016-2019 dan masih dimiliki sampai 31 Desember 2019 tetapi belum dilaporkan dalam SPT 2019. Wajib pajak akan dikenakan PPh final 30% dari nilai aset atau 20% jika diinvestasikan dalam SBN.

Wajib pajak tersebut juga akan diberikan fasilitas penghapusan sanksi. Sementara pada wajib pajak yang gagal investasi dalam SBN, harus membayar 12,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi atau 15% dari nilai aset jika ditetapkan DJP. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 13 Desember 2024 | 16:00 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Tren Rasio Kepatuhan Wajib Pajak 2019-2023, Karyawan Paling Tinggi

Minggu, 01 Desember 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Wakil Ketua Banggar DPR: Tax Amnesty Bisa Perkuat Likuiditas Nasional

Senin, 25 November 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Jumlah Kelas Menengah Terus Menyusut, Kenaikan PPN Bakal Memperburuk?

Jumat, 22 November 2024 | 09:11 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Kebijakan Prabowo Naikkan PPN dan Tax Amnesty, Kejar Tambahan Modal?

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra