EKONOMI DIGITAL

Soal Pemajakan Ekonomi Digital, Ini Saran Pakar dari Australia

Redaksi DDTCNews | Rabu, 30 Oktober 2019 | 14:31 WIB
Soal Pemajakan Ekonomi Digital, Ini Saran Pakar dari Australia

Prof. Lee Burns saat memberikan paparan dalam konferensi internasional bertajuk ‘Strengthening Strategic Administrative Reform Policy to Promote Competitiveness and Innovation in Industrial Revolution 4.0: Opportunities and Challenges’ di Auditorium Juwono Sudarsono Universitas Indonesia (UI), Rabu (30/10/2019).

DEPOK, DDTCNews – Pemajakan atas transaksi yang dilakukan dalam ranah digital menjadi tantangan banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Untuk mencapai hasil yang optimal, rancangan kebijakan harus dilakukan secara bertahap.

Hal ini disampaikan pakar pajak yang juga profesor dari University of Sydney, Lee Burns. Menurutnya, pintu masuk awal pemajakan ekonomi digital adalah pungutan pajak pertambahan nilai (PPN). Jenis pajak ini masih berada dalam kedaulatan tiap yurisdiksi karena basis pengenaannya adalah konsumsi.

“Di beberapa negara, pemajakan atas transaksi digital di mulai dengan PPN karena itu relatif lebih mudah dari pada memungut pajak penghasilan (PPh),” katanya dalam konferensi internasional bertajuk ‘Strengthening Strategic Administrative Reform Policy to Promote Competitiveness and Innovation in Industrial Revolution 4.0: Opportunities and Challenges’ di Auditorium Juwono Sudarsono Universitas Indonesia (UI), Rabu (30/10/2019).

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Dalam paparannya yang berjudul 'BEPS and the Taxation of Digital Transaction', dia menyampaikan beberapa prasyarat agar suatu negara – terutama negara berkembang seperti Indonesia – dapat mengimplementasikan PPN atas transaksi digital.

Pertama, otoritas harus menempatkan penyedia layanan digital sebagai pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa. Aspek ini penting sebagai pondasi dasar. Sasaran utama pemungutan PPN adalah atas barang tidak berwujud.

Barang tidak berwujud ini seperti program komputer dan e-book yang bisa dibeli melalui unduhan dengan instrumen internet. Sementara itu, untuk barang berwujud relatif bisa dikontrol dan diawasi lewat kebijakan kepabeanan.

Baca Juga:
Jasa Travel Agent Kena PPN Besaran Tertentu, PM Tak Dapat Dikreditkan

Kedua, otoritas fiskal harus mampu menerapkan skema pungutan PPN kepada perusahaan raksasa yang menjadi penyedia layanan digital. Kemampuan otoritas dalam 'memaksa' pemain besar seperti Amazon dan Netfix untuk bisa memungut PPN atas transaksi yang dilakukan oleh subjek pajak dalam negeri (SPDN) menjadi penting untuk bisa memungut PPN.

Ketiga, setiap transaksi yang dilakukan harus dengan mata uang yang sama. Hal ini akan memudahkan otoritas dan penyedia jasa dalam menghitung beban pajak kepada konsumen. Keempat, pemerintah harus fokus kepada penyedia layanan yang banyak dimanfaatkan konsumen pada suatu negara atau yurisdiksi.

Kelima, memastikan data yang masuk ke dalam sistem penyedia layanan dapat diandalkan kebenaran dan keabsahan datanya. Aspek ini akan menentukan bagimana kebijakan PPN di ranah digital dapat berjalan secara efektif.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

“Australia memiliki single identity number. Jadi, ketika saya berada di New York dan men-download suatu program di Amazon maka secara otomotis sistem akan memungut PPN karena saya terdaftar sebagai residen dari Australia,” papar Lee Burns.

Lee menambahkan PPN memang menjadi pintu masuk yang paling mudah dalam memajaki entitas digital. Namun, implementasi kebijakan itu bukan berarti tanpa tantangan.

Menurutnya, mekanisme pemungutan dan kapasitas otoritas untuk merangkul penyedia layanan bersedia menarik PPN menjadi pekerjaan besar untuk negara yang ingin memulai aksi unilateral dalam memajaki ekonomi digital. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bagaimana Cara Peroleh Diskon 50 Persen Listrik Januari-Februari 2025?