INDONESIA TAXATION QUARTERLY REPORT Q2-2019

Soal Pajak atas Laba Ditahan, Simak Ulasannya di Sini

Redaksi DDTCNews | Jumat, 30 Agustus 2019 | 17:20 WIB
Soal Pajak atas Laba Ditahan, Simak Ulasannya di Sini

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Belum lama ini, rencana pengenaan pajak atas laba ditahan (retained earnings) sempat hangat diperbincangkan karena menimbulkan polemik. Sayangnya, polemik yang muncul tidak diikuti dengan diskusi publik yang berbasis akademik.

Merespons kondisi tersebut, DDTC Fiscal Research menerbitkan ulasan berbasis akademis tentang pemajakan atas laba ditahan. Ulasan tersebut masuk dalam Indonesia Taxation Quarterly Report Q2-2019 bertajuk ‘Memperluas Basis Pajak melalui Objek Pajak Baru’. (Download laporannya di sini).

Selain warisan, pemajakan atas laba ditahan (retained earnings) juga memiliki justifikasi selain penerimaan negara. Pasalnya, penambahan objek pajak baru sebagai bagian dari perluasan basis pajak tidak selalu terkait dengan penerimaan.

Baca Juga:
Usai Setor PPh Final PHTB, WP Jangan Lupa Ajukan Penelitian Formal

Justifikasi pengenaan pajak atas retained earning adalah mendorong reinvestasi dan mencegah praktik penangguhan dividen. Munculnya wacana pajak ini tidak terlepas dari sistem klasikal yang diterapkan pemerintah dalam rezim corporate-shareholder taxation.

Melalui sistem tersebut, timbul economic double taxation akibat adanya pemajakan dua kali atas laba yang sama, yaitu di level korporasi (corporate level) dan di level pemegang saham (shareholder level).

“Sebagai konsekuensinya, sistem klasikal ini juga mendorong terbentuknya perilaku penghindaran pajak (tax avoidance),” demikian pernyataan DDTC Fiscal Research dalam laporan tersebut, seperti dikutip pada Jumat (30/8/2019).

Baca Juga:
Punya Usaha Kecil-kecilan, Perlu Bayar Pajak Enggak Sih?

Untuk menghindari pajak atas dividen, perusahaan memiliki insentif untuk menahan laba yang dimilikinya dari yang dibutuhkan untuk alasan bisnis dan investasi. Praktik ini tentu berisiko merugikan negara dari sisi pendapatan sehingga timbul wacana pemajakan atas retained earnings.

Secara global, berdasarkan data terkini yang diolah dari IBFD, terdapat 8 dari 178 negara yang memajaki retained earnings. Landasan yang menjadi motif pemajakan tersebut adalah mencegah praktik penghindaran pajak dan mendorong investasi perseroan.

Negara-negara tersebut adalah Ethiopia, Irlandia, Jepang, Korea Selatan, Panama, Arab Saudi, Taiwan, dan Amerika Serikat. Adapun setiap negara tersebut (kecuali Taiwan karena ketidaktersediaan data) sama-sama menerapkan sistem klasikal.

Baca Juga:
Penduduk Mulai Menua, Thailand Kembali Dorong Reformasi Sistem Pajak

Di Amerika Serikat misalnya, ada dua jenis pajak terhadap retained earnings, yaitu Accumulated Earnings Tax (AET) dan Personal Holding Company Tax (PHC). Pemajakan atas retained earnings dianggap memberatkan oleh pengusaha tapi dianggap perlu oleh otoritas pajak Amerika Serikat

AET dikenakan atas penghasilan perseroan yang terakumulasi di luar kewajaran sesuai keperluan bisnis ketimbang dibagikan kepada para pemegang saham. Sementara, PHC adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan perusahaan perorangan yang tidak didistribusikan. Baik AET maupun PHC Tax memiliki tarif yang sama, yaitu 20%.

Pajak atas retained earnings perlu diterapkan selama terdapat perbedaan beban pajak antara penghasilan yang dipegang perseroan dan individu. Dengan demikian, insentif untuk melakukan penghindaran pajak dapat dicegah.

Seperti diketahui, Indonesia Taxation Quarterly Report diterbitkan rutin secara kuartalan oleh DDTC Fiscal Research. Dalam laporan tersebut, DDTC Fiscal Research selalu mengulas beberapa topik khusus terkait perpajakan. Perkembangan terkini dari kondisi fiskal juga selalu ada di tiap kuartalnya. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Minggu, 20 Oktober 2024 | 07:30 WIB PER-8/PJ/2022

Usai Setor PPh Final PHTB, WP Jangan Lupa Ajukan Penelitian Formal

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 16:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Punya Usaha Kecil-kecilan, Perlu Bayar Pajak Enggak Sih?

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:30 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

Kejar Kepatuhan Pajak Pelaku UMKM, DJP Perluas ‘Pendampingan’ BDS

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN