KEBIJAKAN PAJAK

Skema PPh Final Berisiko Memperlebar Tax Gap

Redaksi DDTCNews | Selasa, 05 Mei 2020 | 17:02 WIB
Skema PPh Final Berisiko Memperlebar Tax Gap

Pemaparan pembicara dalam Webinar dengan tema ‘Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia’ yang digelar oleh DDTC Academy, Senin (04/05/2020).

JAKARTA, DDTCNews—Kontribusi penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) bersifat final cenderung stabil tiap tahunnya. Meski begitu, pengenaan PPh final dalam beberapa kasus justru berisiko menimbulkan tax gap.

Partner Tax Research & Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan kesenjangan antara potensi basis pajak dengan realisasi penerimaan yang didapat atau umum disebut tax gap bisa tercipta dari skema PPh final tersebut.

“Argumen bahwa PPh final pro penerimaan bisa diperdebatkan karena dengan pengenaan dengan basis penghasilan bruto juga menciptakan risiko tax gap,” katanya dalam Webinar DDTC Academy dikutip Senin (4/5/2020).

Baca Juga:
Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Pengenaan PPh final atas penghasilan bruto, lanjut Bawono dapat saja menjadi salah satu komponen dari policy gap. Secara khusus, policy gap adalah jumlah pajak yang tidak dapat dikumpulkan pemerintah sebagai akibat dari keputusan pemerintah yang memilih untuk tidak memajaki basis pajak tersebut.

Namun demikian, PPh final awalnya seringkali didesain untuk mengurangi compliance gap, yaitu untuk mengurangi tax gap yang berasal dari ketidakpatuhan. Oleh karena itu, melihat kedua sisi secara berimbang juga perlu dilakukan.

Di Indonesia, penerapan PPh final atas pendapatan bruto dapat dijumpai pada sejumlah kebijakan. Misal, pengenaan PPh final UMKM sebesar 0,5% didasarkan atas peredaran bruto atau omzet.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Ada juga usaha jasa konstruksi yang mendapatkan skema pajak penghasilan final. Kondisi itu pada akhirnya membuat kontribusi jasa konstruksi terhadap PDB dan pajak terbilang timpang.

Berdasarkan data Kemenkeu pada 2019, kontribusi usaha jasa konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10,7%. Di lain pihak, kontribusi setoran pajak ke kas negara hanya sekitar 7,2%.

Dengan demikian, penerapan skema PPh final diperkirakan menjadi salah satu faktor yang membuat penerimaan dari sektor jasa konstruksi tidak merefleksikan kondisi ekonomi yang sebenarnya.

Baca Juga:
Jasa Travel Agent Kena PPN Besaran Tertentu, PM Tak Dapat Dikreditkan

Hal serupa juga terjadi pada PPh final Pasal 4 ayat (2) atas tanah dan bangunan. Selama ini, PPh final tersebut baru dikenakan pajak apabila dialihkan atau dijual dari satu pihak kepada pihak lainnya.

Artinya, tidak ada pemasukan pajak kepada negara selama aset tersebut belum dialihkan, meskipun nilai asetnya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jika dialihkan, PPh final dikenakan atas nilai jualnya saja, tidak dihitung berdasarkan selisih nilai perolehan aset dan nilai jualnya.

Dengan kata lain, sistem pemajakan final ini tidak merefleksikan keuntungan atas modal atau capital gains yang diperoleh wajib pajak. Padahal, kekayaan bisa jadi adalah akumulasi dari penghasilan yang tidak dikonsumsi.

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

“Kalau kita bicara PPh final ini kebanyakan luput dan menutup mata tentang persoalan-persoalan keadilan horizontal dan vertikal. Jika terus begini, progresivitas sistem PPh ini bisa saja tidak tercapai,” jelas Bawono.

Untuk melihat sejauh mana relevansi PPh Final pada saat ini. Anda bisa mengunduh working paper berjudul 'Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia’. Silahkan unduh di sini. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bagaimana Cara Peroleh Diskon 50 Persen Listrik Januari-Februari 2025?