Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Sinyal pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12% pada 2025 makin nyata. Pemerintah berdalih ketentuan tersebut sudah tertuang dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (10/9/2024).
Terkait dengan rencana kenaikan PPN ini, pemerintah mengaku mempertimbangkan seluruh pandangan publik, terutama dari DPR.
Dalam jawaban pemerintah atas pandangan fraksi-fraksi di DPR terhadap RABPN 2025, pemerintah menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN pada tahun depan merupakan bentuk dari penerapan UU HPP. Meski demikian, pemerintah mengaku siap mengkaji konsekuensi dari kenaikan tarif tersebut.
"Pemerintah akan terus mengkaji dan akan sangat berhati-hati dalam melakukan implementasinya. Seluruh rancangan kebijakan akan mempertimbangkan berbagai aspek, terutama aspek ekonomi sehingga penerapannya akan tepat, efektif, dan terukur," ungkap pemerintah dalam jawabannya.
Pemerintah pun berdalih bahwa UU HPP tidak hanya mengatur tentang kenaikan tarif PPN, melainkan juga memberikan insentif permanen bagi UMKM berupa fasilitas omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta. Barang dan jasa tertentu seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan juga tetap dibebaskan dari pengenaan PPN.
Insentif-insentif pajak di atas juga disinergikan dengan pengendalian inflasi dan penguatan perlindungan sosial.
"Dengan demikian, setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah termasuk kebijakan pajak dapat diminimalisir dampaknya serta tetap dapat mampu menjadi basis optimalisasi perpajakan jangka menengah panjang," tulis pemerintah.
Selain bahasan mengenai kenaikan tarif PPN, ada pula pemberitaan mengenai implementasi CEISA 4.0, persiapan coretax system oleh pemerintah, hingga kewenangan presiden untuk mengubah direktorat jenderal (ditjen) di sebuah kementerian menjadi lembaga sendiri.
Kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 nanti dinilai bisa makin menekan daya beli, terutama bagi masyarakat kelas menengah.
Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan kenaikan tarif PPN pada tahun depan dan 4 kebijakan lainnya, termasuk pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, penyesuaian subsidi KRL, kewajiban iuran dana pensiun tambahan, dan kewajiban asuransi bagi kendaraan bermotor, dipastikan akan menekan daya beli.
"Dalam kondisi seperti sekarang, kalau mau membuat kelas menengah optimistis lagi, sebisa mungkin [kebijakan di atas] ditunda. Untuk memberi napas kelas menengah," kata Eko. (Harian Kompas)
Pemerintah diminta melanjutkan dan memperluas pemberian insentif pajak yang akan berakhir pada tahun ini. Salah satunya, insentif PPh final untuk UMKM dengan tarif 0,5%. Insentif ini akan berakhir pada tahun ini, khusus bagi wajib pajak orang pribadi yang telah memanfaatkannya sejak 2018.
Terkait dengan hal tersebut, sinyal positif sudah sempat disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dia mengatakan akan mengevaluasi insentif PPh final UMKM 0,5%.
Evaluasi terhadap penyaluran insentif PPh final UMKM dilakukan untuk melihat kembali apakah perlu dilanjutkan atau tidak. (Kontan)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menerbitkan keputusan baru mengenai penerapan secara penuh (mandatory) CEISA 4.0 tahap ke-12.
KEP-152/BC/2024 menyatakan CEISA 4.0 diterapkan secara mandatory di sejumlah kanwil, kantor pelayanan utama bea dan cukai (KPUBC), dan kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai (KPPBC). Penerapan mandatory CEISA 4.0 ini berlaku untuk sejumlah layanan yakni manifes, perbendaharaan, barang kiriman, serta pemberitahuan pabean free trade zone (PPFTZ-01).
"Untuk memberikan kepastian hukum dalam mengimplementasikan CEISA 4.0, diperlukan ketentuan yang menetapkan mengenai penerapan secara penuh (mandatory) CEISA 4.0," bunyi salah satu pertimbangan KEP-152/BC/2024. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan mengungkapkan tetap memerlukan penguatan di berbagai sisi setelah pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau coretax administration system (CTAS) diterapkan pada 2025.
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan setelah deployment CTAS masih diperlukan penguatan dari sisi sumber daya manusia (SDM), teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta regulasi. Kemenkeu pun mengalokasikan anggaran senilai Rp549,39 miliar untuk berbagai program tersebut.
"Seiring dengan deployment sistem tersebut, diperlukan penguatan SDM melalui pengangkatan dan pelatihan jafung [pejabat fungsional], penguatan IT support dan maintenance, perbaikan proses bisnis, dan penguatan regulasi," katanya dalam rapat di Komisi XI DPR. (DDTCNews)
Badan Legislasi DPR mengusulkan 1 pasal baru dalam UU No. 39/2009 tentang Kementerian Negara yang memungkinkan presiden untuk mengubah susunan organisasi suatu kementerian meski susunan organisasinya telah diatur dalam undang-undang.
Contoh, bila dalam suatu undang-undang terdapat unsur organisasi berupa direktorat jenderal (ditjen), presiden dapat mengubah ditjen dimaksud menjadi lembaga tersendiri ataupun menggesernya menjadi unsur organisasi pada lembaga lain. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 10A draf revisi UU Kementerian Negara.
"Contoh penerapan ketentuan dalam pasal ini, yakni jika dalam undang-undang ternyata terdapat penulisan unsur organisasi berupa ditjen maka ditjen ini dapat diubah menjadi lembaga tersendiri atau unsur organisasi dalam kelembagaan tersendiri atau bersama," bunyi pasal penjelas dari Pasal 10A yang diusulkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. (DDTCNews) (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.