Ilustrasi. (thevoiceslu.com)
DIAM-diam, tanpa banyak publikasi dan woro-wiri ke sana kemari, Februari ini Komisi XI DPR ternyata sudah membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kelima atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Pembentukan Panja ini sejalan dengan amanat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, yang pada detik terakhir pembahasannya Desember 2016, DPR dan pemerintah berbalik sepakat kembali memasukkan RUU KUP ke Prolegnas 2017, setelah sebelumnya sempat mau mengeluarkan.
Seperti diketahui, RUU KUP telah menjadi bagian dari Prolegnas 2015 yang berlanjut ke 2016. Draf RUU KUP yang masuk ke DPR pada 2016 belum sempat dibahas karena DPR dan pemerintah sepakat mendahulukan pembahasan RUU Pengampunan Pajak, RUU yang tidak ada dalam Prolegnas 2016.
Namun, pembahasan RUU KUP juga tidak dapat dilakukan setelah RUU Pengampunan Pajak terbit, karena Menteri Keuangan yang baru, yaitu Sri Mulyani Indrawati, memutuskan mereview kembali draf tersebut tanpa menariknya dari DPR—karena memang kewenangan menarik RUU ada pada Presiden.
Pembentukan Panja RUU KUP oleh Komisi XI DPR dengan sendirinya menandai momentum dimulainya pembahasan RUU KUP, setelah vakum beberapa lama akibat keputusan Menkeu untuk mereview tadi. Pertanyaannya, apakah Menkeu sudah mencabut periode review tersebut dan siap membahas RUU KUP bersama DPR?
Sayangnya, jawabannya belum. Sampai hari ini masih belum jelas seperti apa dan bagaimana hasil review RUU KUP itu. Belum ada proposal dari Kemenkeu yang secara jelas bisa menunjukkan posisinya terhadap berbagai isu strategis dalam draf RUU KUP yang sudah ada di tangan Panja Komisi XI DPR.
Kita belum mendengar apa posisi terakhir Kemenkeu pada isu keberatan dan banding, pembentukan lembaga penerimaan semi-otonom, penguatan kewenangan pemeriksa serta penyidik pajak, pidana korporasi dan peradilan in absentia, sampai perubahan istilah dari wajib pajak jadi pembayar pajak.
Yang banyak kita dengar, termasuk dari DPR, barulah sebatas ‘kalimat bunga-bunga’ seperti ‘RUU KUP yang adil, seimbang, berkepastian hukum dan mendukung perekonomian’; atau ‘Organisasi DJP yang ideal dengan memperhatikan geografi, karakter organisasi, kearifan lokal, dan seterusnya bla bla bla’.
‘Kalimat bunga-bunga’ yang memang tidak ditujukan untuk memperjelas dan membuat lebih terang berbagai hal ikhwal yang menyangkut hajat hidup orang banyak itulah yang selama beberapa bulan terakhir ini, secara tidak produktif, mendesak bangun wacana perubahan RUU KUP di masyarakat.
Dengan posisi Kemenkeu yang masih belum jelas seperti ini, lalu bagaimana Panja RUU KUP dapat segera memulai pembahasannya, mengingat RUU tersebut adalah RUU inisiatif pemerintah dan bukan RUU inisiatif DPR? Mungkin bisa, tapi kita tahu, ketidakjelasan sering melahirkan ketidakjelasan.
Inilah sebetulnya yang harus segera diakhiri. Program tax amnesty sebentar lagi berakhir, batas waktu penyampaian SPt sudah semakin dekat. Jangan sampai momentum reformasi pajak kembali menguap. Tidak ada cara lain, Kemenkeu harus segera keluar dengan proposal reformasi pajak yang jelas dan terang.
Rakyat berhak tahu apa rencana yang disiapkan pemerintah menyangkut nasib dan masa depannya. Hari ini kita bisa melihat dan membandingkan, bagaimana tetangga kita, yang sama-sama sedang melakukan reformasi perpajakan, Filipina, sudah lebih dahulu mencuri langkah di depan.
Proposal reformasi pajak yang mereka susun sudah sedemikian jelasnya. Hanya ada 4 agenda pokoknya, yaitu penurunan tarif pajak penghasilan orang pribadi, kenaikan tarif pajak bahan bakar, kenaikan tarif pajak penjualan kendaraan bermotor, dan penambahan jenis barang dan jasa kena pajak.
Argumentasinya juga bisa diuji. Kemenkeu Filipina berani menyatakan berapa tambahan penerimaan yang masuk jika 4 pokok agenda reformasi pajak itu disetujui Kongres. Berapa pula tambahan kontribusinya untuk produk domestik bruto. Banyak juga kalangan yang kontra, tetapi itu justru sehat dan produktif.
Kita tidak boleh kalah dengan Filipina. Kita bangsa yang besar. Orang-orang kita bukan orang bodoh. Kita bisa menjawab pertanyaan kenapa penerimaan pajak kita terus tertekan dalam 8 tahun terakhir dan tahu bagaimana cara untuk mengatasinya. Kita bukan bangsa tidak jelas yang pasrah dan larut dalam ketidakjelasan. Kita bisa!
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.