RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pemberian Imbalan Natura kepada Pegawai

Hamida Amri Safarina | Rabu, 23 Juni 2021 | 17:33 WIB
Sengketa Pemberian Imbalan Natura kepada Pegawai

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai pemberian imbalan berupa natura oleh wajib pajak kepada pegawainya.

Otoritas pajak menyatakan biaya cadangan pensiun dan biaya penggantian rumah sakit merupakan objek PPh Pasal 21. Selain itu, otoritas pajak menemukan fakta wajib pajak telah memberikan fasilitas transportasi kepada pegawainya.

Dalam hal ini, wajib pajak tidak dapat membuktikan fasilitas transportasi yang diberikan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Oleh karena itu, imbalan dalam bentuk natura tersebut tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

Baca Juga:
Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan seluruh koreksi yang dilakukan wajib pajak tidak dapat dibenarkan. Biaya cadangan pensiun dan biaya penggantian pengobatan dalam perkara ini bukan merupakan objek PPh Pasal 21.

Selain itu, biaya transportasi yang dikeluarkan wajib pajak digunakan untuk kebutuhan antar jemput pegawainya dan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Oleh karena imbalan natura tersebut masih berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan maka dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Baca Juga:
Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan terdapat tiga pokok sengketa dalam perkara ini.

Pertama, dana cadangan pensiun. Pada koreksi ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berkesimpulan bahwa koreksi dari otoritas pajak atas cadangan pensiun yang dijadikan objek PPh Pasal 21 tidak dapat dipertahankan.

Baca Juga:
Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Kedua, penggantian biaya rumah sakit. Dalam hal ini, wajib pajak membayarkan uang penggantian kepada rumah sakit/klinik/puskesmas yang dijadikan rujukan pegawainya saat sedang sakit. Biaya yang dibayarkan kepada rumah sakit/klinik/puskesmas bukan merupakan objek PPh Pasal 21.

Ketiga, koreksi terkait natura berupa fasilitas transportasi. Terkait dengan koreksi ini, terdapat sebagian biaya yang terbukti sebagai biaya transportasi antarjempur pegawai untuk kepentingan pekerjaan. ada sebagian biaya transportasi lainnya yang dikeluarkan bukan untuk kepentingan usaha.

Dengan demikian, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 28176/PP/M.II/10/2010 tanggal 21 Desember 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 13 April 2011.

Baca Juga:
Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 21 tahun pajak 2006 senilai Rp7.321.737.450 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK melakukan koreksi karena berdasarkan ekualisasi biaya pada SPT tahunan PPh badan tahun pajak 2006 dan jumlah penghasilan bruto SPT tahunan PPh Pasal 21 pada 2006 terdapat selisih penghasilan yang tidak dilaporakan wajib pajak.

Dalam perkara ini terdapat tiga pokok sengketa. Pertama, terkait dengan dana cadangan pensiun. Adanya perbedaan jumlah cadangan pensiun dalam laporan hasil audit 2006 dengan jumlah pada laporan hasil audit 2007.

Baca Juga:
Pajak Atas Gaji Kepala Daerah Ditanggung Pemerintah, Begini Aturannya

Hal tersebut menunjukkan Termohon PK tidak taat asas dalam melakukan pembukuan. Adapun prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.

Dengan demikian, pembukuan yang disusun Termohon PK tidak dapat diyakini kebenarannya dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan penyelesaian perkara. Pemohon PK menilai terdapat cadangan dana pensiun yang merupakan objek PPh Pasal 21 dan tidak dilaporkan dalam SPT.

Kedua, berdasarkan uji bukti, Termohon PK telah memberikan imbalan berupa natura atau kenikmatan berupa biaya pengobatan. Berdasarkan pada hasil pemeriksaan biaya pengobatan tersebut telah dibayarkan langsung kepada pegawai Termohon PK.

Baca Juga:
Sengketa PPh Orang Pribadi Pasca Mendapat Hibah Properti

Apabila pengantian biaya perawatan tersebut diberikan secara tunai kepada pegawai baik secara langsung maupun dimasukkan dalam unsur gaji bulanan pegawai, biaya penggantian ini merupakan objek PPh.

Ketiga, koreksi atas pemberian natura berupa pemberian fasilitas transportasi. Pada proses pemeriksaan, Pemohon PK menemukan fakta Termohon PK telah memberikan fasilitas transportasi kepada pegawainya. Dalam hal ini, Termohon PK tidak dapat membuktikan bahwa fasilitas yang diberikan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Oleh karena itu, imbalan dalam bentuk natura tersebut tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Berdasarkan pada uraian di atas, Pemohon PK menyatakan koreksi yang dilakukannya sudah sesuai fakta, bukti yang valid, dan aturan yang berlaku.

Baca Juga:
Sengketa atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Termohon PK menyampaikan pihaknya telah melaporkan pajak PPh Pasal 21 pegawainya dengan benar. Menurutnya, pembukuan yang telah dilakukannya sesuai dengan asas yang berlaku. Adapun biaya cadangan pensiun bukan merupakan objek PPh Pasal 21.

Terkait dengan koreksi biaya pengobatan, Termohon PK telah membayarkan langsung biaya penggantian untuk pengobatan kepada rumah sakit/klinik/puskesmas yang menjadi rekanan Termohon PK.

Apabila seorang pegawai mendapatkan perawatan kesehatan dari suatu rumah sakit dan rumah sakit itu menerima pembayaran secara tunai dari pemberi kerja, balas jasa yang diterima pegawai tersebut merupakan kenikmatan dan bukan objek PPh.

Baca Juga:
BPN Dibentuk, Pengadilan Pajak Harus Hadir untuk Lindungi Hak WP

Selanjutnya, Termohon PK juga menanggapi koreksi Pemohon PK atas biaya transportasi yang dikeluarkannya. Adapun biaya transportasi tersebut dikeluarkan untuk kebutuhan antar jemput pegawainya dan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Oleh karena masih berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan maka imbalan natura dan/atau kenikmatan dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 21 tahun 2006 senilai Rp7.321.737.450 tidak dapat dipertahankan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak

Baca Juga:
Sengketa PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding

Kedua, menurut Mahkamah Agung, tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:01 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Jumat, 18 Oktober 2024 | 20:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:14 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Kamis, 17 Oktober 2024 | 12:39 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja