RESUME Putusan Peninjauan Kembali ini merangkum sengketa terkait dengan PPN yang belum dipungut wajib pajak atas penyerahan barang kena pajak (BKP) yang belum dilaporkan.
Otoritas pajak berpendapat terdapat PPN masukan atas pembelian barang dan jasa terkait dengan penyerahan yang PPN-nya dibebaskan/tidak dipungut. Oleh karena itu, otoritas pajak mengoreksi jumlah PPN yang masih harus dibayar oleh wajib pajak.
Sementara menurut wajib pajak, PPN masukan itu tidak semuanya terkait dengan penyerahan yang PPN-nya dibebaskan/tidak dipungut. Hal itu karena sebagian transaksi yang tercantum dalam faktur pembelian terkait dengan usaha wajib pajak tersebut dialokasikan untuk pengerjaan proyek lain.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPN yang harus dipungut sendiri tidak tepat.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi otoritas pajak didasarkan pada analisis arus piutang 2008 yang berasal dari selisih penerimaan kas dan saldo piutang. Terhadap hal tersebut, wajib pajak dapat menjelaskan dan memberikan perincian alasan terjadinya selisih penerimaan. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dipertahankan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 40963/PP/M.I/16/2012 tanggal 24 Oktober 2012, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 13 Februari 2013.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah permohonan koreksi DPP PPN yang harus dipungut sendiri oleh wajib pajak senilai Rp1.343.940.905 tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Majelis hakim dinilai telah mengabaikan fakta-fakta hukum dan peraturan perpajakan yang berlaku.
Dalam perkara ini, Pemohon PK menemukan adanya perbedaan jumlah pelunasan pembayaran yang dilakukan Termohon PK. Dari temuan tersebut, diketahui fakta lain adanya penyerahan PPN yang belum dilaporkan senilai Rp1.343.940.905.
Hal tersebut menjadi dasar bagi Pemohon PK untuk melakukan koreksi DPP PPN yang harus dipungut sendiri oleh Termohon PK. Atas dasar tersebut, Pemohon PK melakukan penelitian kembali dengan menggunakan metode pengujian arus piutang terhadap semua transaksi nonperedaran usaha milik Termohon PK.
Pengujian arus piutang bertujuan untuk mengetahui transaksi yang dilakukan Termohon PK. Adapun pengujian tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan data dan informasi dalam buku kas, rekening koran Termohon PK dan rekening koran pemegang saham. Sesuai dengan pengujian tersebut diperoleh beberapa informasi sebagai berikut.
Pertama, diketahui bahwa Termohon PK hanya bisa menunjukkan bukti transaksi nonperedaran usaha berkaitan dengan transaksi setoran tunai kas (cash on hand) ke rekening koran (cash on bank) Termohon PK.
Kedua, tidak ditemukan adanya perjanjian utang piutang antara Termohon PK dan pemegang saham. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya bukti berupa perjanjian utang piutang antara Termohon PK dengan pemegang sahamnya.
Ketiga, berdasarkan SPT Tahunan PPh Badan 2008, Termohon PK tidak mempunyai pinjaman dari/kepada pemegang saham. Sebaliknya, dalam SPT PPh pribadi pemegang saham juga tidak terdapat pinjaman dari dan kepada Termohon PK.
Berdasarkan pada uraian di atas, Pemohon PK menyimpulkan terdapat penyerahan BKP yang belum dilaporkan Termohon PK. Dalam hal ini, Termohon PK tidak dapat memberikan sanggahan bahwa pembayaran dalam pengujian arus piutang tersebut bukan merupakan penyerahan BKP. Dengan demikian, penyerahan yang belum dilaporkan tersebut terutang PPN.
Menurut Pemohon PK, pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak dibuat tanpa pertimbangan yang cukup dan bertentangan dengan fakta yang ada. Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga dinilai bertentangan dengan Pasal 4 huruf a dan Pasal 3A ayat (1) UU PPN. Oleh karenanya, Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 40963/PP/M.I/16/2012 tanggal 24 Oktober 2012 harus dibatalkan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju atas koreksi DPP PPN yang dilakukan oleh Pemohon PK. Sebagai informasi, Termohon PK memiliki usaha yang bergerak dalam bidang pelaksana/kontraktor pembangunan gedung, jalan, jembatan, ataupun pengairan.
Dalam persidangan, Termohon PK telah menyampaikan data atau bukti pendukung berupa laporan kas harian, bukti setoran tunai, bukti penerimaan giro, rekap rekening bank, perincian saldo piutang, dan status piutang. Berdasarkan pada data-data tersebut, tidak semua PPN masukan berkaitan langsung dengan penyerahan BKP yang PPN nya dibebaskan/tidak dipungut.
Terdapat sebagian transaksi yang tercantum dalam faktur pembelian material yang dialokasikan untuk pengerjaan proyek lain. Dengan begitu, Termohon PK menyatakan koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK tidak benar.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Adapun putusan Pengadilan Pajak No. Put 40963/PP/M.I/16/2012 yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah benar. Terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan permohonan Pemohon PK tentang koreksi DPP atas penyerahan BKP yang PPN nya harus dipungut sendiri se Rp1.343.940.905 tidak dapat dibenarkan. Dalam kasus ini, dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan. Fakta tersebut antara lain mengungkapkan bahwa tidak semua PPN Masukan berkaitan dengan penyerahan BKP yang PPN-nya dibebaskan/tidak dipungut.
Kedua, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Abiyoga Sidhi Wiyanto/kaw)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.