Ilustrasi. Warga melihat etalase berisi unit ruang apartemen di kawasan Pondok cabe, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (10/10/2010). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/rwa.
ADA seorang konglomerat. Sebut saja namanya Datuk Maringgih. Perusahaan sawit miliknya berkelindan dengan banyak unit bisnis lain menjadi sebuah grup usaha raksasa. Intinya, dia kaya raya.
Tanpa menikahi Siti Nurbaya pun, Datuk Maringgih sudah terlihat bahagia. Tak perlu gaji bulanan. Cukup dengan jaminan akomodasi hidup nyaman tak terbatas dari jejaring perusahaan miliknya. Mulai dari mobil mewah, rumah mewah, hingga fasilitas bukan uang lain yang melimpah.
Ragam fasilitas yang didapat Datuk Maringgih merupakan balas jasa atau imbalan bukan uang. Istilahnya adalah natura dan/atau kenikmatan. Dalam ketentuan yang berlaku, natura dikecualikan dari objek pajak. Karena tidak kena pajak, tentu saja posisi Datuk Maringgih serba-untung.
Menengok pada level lain. Para karyawan di perusahaan milik Datuk Maringgih mendapat gaji bulanan berupa uang. Tentu saja gaji itu terutang pajak penghasilan (PPh). Dari sini terlihat jelas, ada ketidakadilan perlakuan pajak atas penghasilan yang diterima karyawan dan petinggi.
Sebenarnya, ketentuan terkait dengan PPh selama ini sudah memasukkan natura dan/atau kenikmatan sebagai penghasilan. Namun, Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh mengecualikan natura sebagai objek pajak.
Nantinya, dengan perubahan UU PPh melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), natura dan/atau kenikmatan akan dianggap sebagai objek pajak bagi penerimanya. Artinya, perlakuan pajak atas berbagai fasilitas yang diterima Datuk Maringgih sama seperti penghasilan dalam bentuk uang.
Keadilan Horizontal
YA, narasi soal pengusaha tajir melintir di atas cuma fiksi. Namun, kerangka ceritanya mengacu pada penjelasan pemerintah terkait dengan latar belakang dijadikannya penghasilan bukan uang alias natura sebagai objek pajak bagi penerimanya.
Dalam Media Gathering Ditjen Pajak (DJP) di Bali pada awal November 2021, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Yon Arsal memberikan ilustrasi terkait dengan pemberian penghasilan bukan uang.
“Contohnya, saya orang sangat kaya dan punya 13 perusahaan. Saya tidak perlu terima gaji perusahaan. Saya minta mobil, rumah, dan fasilitas lainnya buat saya. Oleh karena yang saya terima bukan uang, saya sama sekali tidak menerima penghasilan di SPT saya,” cerita Yon.
Salah satu alasan di balik ketentuan dijadikannya natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak bagi penerimanya adalah mendorong keadilan. Maksudnya, keadilan perlakuan perpajakan bagi wajib pajak, baik pekerja kelas atas atau di bawahnya.
Dirjen Pajak Suryo Utomo memandang ketentuan fringe benefit yang berlaku saat ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan horizontal. Alasannya, penghasilan pegawai yang biasanya berupa gaji atau upah dikenakan PPh, sedangkan manfaat berupa natura yang diterima pejabat tinggi tidak kena pajak.
Menurut Suryo, pengenaan PPh juga perlu dilakukan terhadap fringe benefit yang diterima kelompok pekerja level atas. Apalagi, rata-rata tax expenditure PPh orang pribadi atas penghasilan dalam bentuk fringe benefit pada periode 2016-2019 mencapai Rp5,1 triliun.
DJP juga mencatat jumlah pekerja dengan penghasilan di atas Rp500 juta dalam setahun memiliki porsi belanja perpajakan (tax expenditure) dari natura hingga 51,17% dari total wajib pajak pada kelompok tersebut. Angka ini menjadi gambaran besaran potensi pajak yang tidak tertagih.
Naskah Akademik RUU KUP – sebelum akhirnya disahkan parlemen sebagai UU HPP – juga mengungkapkan fakta peningkatan pemberian natura dan/atau kenikmatan dari pemberi kerja kepada pegawai.
Berdasarkan data Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh wajib pajak badan pada 2015, ada 17.360 wajib pajak mengajukan koreksi fiskal positif karena pemberian natura dan/atau kenikmatan. Angka itu terus meningkat, hingga pada 2019 menjadi 20.672 wajib pajak.
UU HPP tidak serta menjadikan seluruh natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak bagi penerimanya. Nantinya, masih ada 5 jenis natura yang bebas dari pajak ketika UU PPh yang sudah diubah melalui UU HPP berlaku mulai 2022.
Natura yang tidak dikategorikan sebagai objek pajak, pertama, makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai.
Kedua, natura yang disediakan di daerah tertentu dikecualikan dari objek pajak. Adapun yang dimaksud dengan daerah tertentu adalah daerah yang memiliki potensi ekonomi tetapi tergolong sulit dijangkau menggunakan alat transportasi.
Ketiga, natura yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan juga dikecualikan dari objek pajak.
Keempat, natura yang dikecualikan dari objek pada UU PPh yang direvisi dengan UU HPP juga mencakup natura yang bersumber dari APBN, APBD, atau APBDes. Terakhir, natura dengan jenis dan batasan tertentu juga dikecualikan dari objek pajak.
Sesuai dengan Pasal 32C UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, ketentuan lebih lanjut mengenai penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak akan diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP).
Bagi pemberi, pada prinsipnya, natura dapat dibiayakan sepanjang terkait dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan. Simak pula artikel ‘Pemerintah Bakal Atur Detail Ketentuan Natura yang Dapat Dibiayakan’.
Penerapan di Negara Lain
INDONESIA tidak sendirian mengenakan pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima pegawai. Banyak negara lain di dunia yang juga menerapkan skema serupa atau fringe benefit tax. Tujuannya adalah mengupayakan perlakuan yang setara antara tambahan kemampuan ekonomis berupa uang dan fasilitas berupa natura.
Australia misalnya, mengenakan fringe benefit tax terhadap imbalan tertentu yang diberikan pemberi kerja kepada karyawan. Di Negeri Kanguru, mengutip dari Naskah Akademik RUU KUP, fringe benefit tax ditanggung oleh pemberi kerja dan bisa menjadi biaya dalam perhitungan PPh-nya. Fringe benefit tax dihitung secara terpisah dari PPh dan dihitung dari nilai pajak terutang atas setiap benefit.
Beberapa jenis imbalan bukan uang alias natura yang dikenai pajak di Australia antara lain pemberian atau peminjaman mobil untuk kepentingan pribadi, pemberian manfaat parkir, pemberian fasilitas hiburan dan rekreasi termasuk makanan-minuman, pemberian pinjaman bunga rendah bagi karyawan, hingga pemberian hak kepada karyawan untuk menggunakan rumah atau hak sewa tempat tinggal.
Sementara di Jepang, fringe benefit diberlakukan sebagai penghasilan bagi penerimanya, dimasukkan dalam satu kesatuan penghitungan penghasilan, dan dilaporkan dalam SPT Tahunan penerima. Sebagian besar jenis fringe benefit di Jepang dianggap sebagai penghasilan pegawai dan dikenai pajak, kecuali seragam dan manfaat sejenis yang bersifat wajib sehubungan dengan pekerjaan.
Kemudian di Filipina, fringe benefit dikenakan pajak final sebesar 32% dengan sistem witholding tax yang dibayar dan dilaporkan oleh pemberi kerja. Pada prinsipnya, semua barang, jasa, atau benefit yang diberikan dalam bentuk uang atau bentuk lainnya oleh pemberi kerja dikenai pajak, kecuali diatur lain dalam peraturan pajak.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji memandang penerapan fringe benefit tax yang memang sudah lumrah di sejumlah negara ini akan memberi ruang yang lebih adil bagi wajib pajak. Orientasi ketentuan ini adalah keadilan, bukan penerimaan.
“Melalui UU HPP, atas natura tersebut menjadi objek pajak (taxable income) bagi pihak yang menerima. Sementara dari sisi pemberi natura yakni perusahaan, natura bisa menjadi biaya pengurang penghasilan (deductible expenses)," kata Bawono.
Pemajakan atas natura juga akan meningkatkan biaya perusahaan yang dapat menjadi pengurang pajak. Pemerintah memproyeksikan buntut dari kebijakan ini akan ada mendorong redistribusi penerimaan PPh badan dan PPh orang pribadi.
Pemajakan atas natura juga akan meningkatkan biaya perusahaan yang dapat menjadi pengurang pajak. Estimasi pemerintah, akan ada redistribusi karena penurunan penerimaan PPh pemberi kerja senilai Rp7,1 triliun dan peningkatan penerimaan PPh orang pribadi pekerja senilai Rp4,4 triliun.
Proyeksi peningkatan penerimaan PPh orang pribadi tersebut berpotensi lebih besar seiring dengan kebijakan perubahan tarif dan lapisan (bracket) PPh orang pribadi.
Kendati begitu, prinsip keadilan harus menjadi landasan utama dalam penerapan natura sebagai objek pajak. Meski aspek penerimaan tetap masuk dalam hitung-hitungan pemerintah, tujuan akhir berupa dorongan terhadap pemajakan yang lebih adil tetap menjadi goals besar.
Di luar pro dan kontra mengenai pengenaan pajak terhadap natura dan/atau kenikmatan, arah kebijakan pajak yang lebih condong kepada prinsip keadilan memang diperlukan. Seperti yang disampaikan W.J. Langen – yang juga dituangkan dalam Naskah Akademik RUU KUP – warga bisa tergerak membayar pajak jika sistem pemungutan pajak memenuhi 5 asas.
Salah satu asas yang dimaksud adalah kesamaan. Artinya, pemungutan dilakukan dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lainnya, serta dikenakan pajak dalam jumlah yang sama.
Hal senada disampaikan Adolf Wagner yang meyakini warga bisa terdorong membayar pajak jika sistem pemungutan pajak juga memenuhi asas keadilan. Maksudnya, pemungutan pajak berlaku secara umum tanpa adanya diskriminasi.
Barangkali, penerapan fringe benefit tax atau menjadikan natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak adalah salah satu cara yang bisa ditempuh pemerintah untuk mendorong terwujudnya keadilan dalam pemungutan pajak. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.