Ilustrasi.
SETELAH melakukan serangkaian rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai stakeholder terkait, seluruh fraksi Komisi XI DPR menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kepada pemerintah pada 13 September 2021.
Pembahasan berlanjut pada tingkat panitia kerja (Panja). Berselang sekitar dua pekan, tepatnya pada 29 September 2021, Komisi XI DPR dan pemerintah sudah menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke sidang paripurna. Namanya berubah menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Awalnya, publik mengetahui sudah adanya persetujuan itu dari unggahan staf khusus menteri keuangan di Twitter. Setelah itu, Kementerian Keuangan akhirnya resmi menyampaikan informasi tersebut melalui laman resminya.
Sepekan kemudian, tepatnya pada 7 Oktober 2021, pimpinan DPR mengetok palu dalam rapat paripurna. Hal ini menjadi tanda disahkannya RUU HPP menjadi undang-undang meskipun salah satu fraksi dalam posisi menolak. Momentum tersebut menandai terbukanya lagi rezim baru perpajakan.
Bagaimanapun, pemerintah telah mengubah beberapa ketentuan pajak melalui UU Cipta Kerja pada tahun lalu. Kali ini, dengan skema omnibus juga, UU HPP mengubah sejumlah ketentuan dalam UU KUP, UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan UU Cukai.
Payung hukum ini juga memuat pengaturan mengenai program penungkapan sukarela wajib pajak dan pajak karbon. Tentu saja hal ini perlu diapresiasi karena pada masa pandemi, ada satu produk hukum perpajakan yang berhasil melalui proses legislasi dengan 5 tujuan.
Pertama, meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian. Kedua, mengoptimalkan penerimaan negara. Ketiga, mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
Keempat, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis pajak. Kelima, meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. UU HPP juga hadir pada masa pemulihan ekonomi dan konsolidasi fiskal pascapandemi Covid-19.
Reformasi perpajakan yang terus berjalan pada masa pandemi menjadi langkah yang baik. Pemerintah bisa mengantisipasi dinamika ekonomi pascapandemi. Harapannya, jeda waktu peningkatan pajak tidak terlalu jauh dengan pemulihan ekonomi.
Beberapa kebijakan antisipatif dalam UU HPP yang perlu diapresiasi antara lain masuknya ketentuan mengenai kerja sama penagihan pajak antarnegara secara resiprokal serta prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedures/MAP). Hal ini sesuai dengan international best practice.
Selain itu, ada pula kebijakan penunjukan pihak lain – yang terlibat langsung atau memfasilitasi terjadinya transaksi – untuk memungut PPh, PPN, dan pajak transaksi elektronik (PTE). Hal ini menjadi solusi bagi perkembangan transaksi ekonomi yang makin dinamis.
Namun demikian, harus diakui, konteks pemulihan ekonomi dan konsolidasi fiskal – yang bisa jadi saling berlawanan – tidak bisa dilepaskan dari perumusan UU HPP. Konteks itulah yang memunculkan kompromi politik hingga akhirnya kesepakatan yang diambil bisa dikatakan sebagai jalan tengah.
Salah satu contohnya dari sisi PPN. Awalnya, pemerintah mengusulkan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12%. Dalam UU HPP disepakati kenaikan tarif bertahap, yakni menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi sebesar 12% paling lambat 1 Januari 2025. Usulan multitarif PPN dicoret.
Sayangnya, pengambilan jalan tengah berdampak pada beberapa usulan kebijakan yang sejatinya mempunyai justifikasi kuat untuk diterapkan. Kita ambil contoh saja usulan pemerintah tentang PPh minimum dalam skema alternative minimum tax (AMT) dan general anti-avoidance rule (GAAR).
Keduanya memiliki justifikasi yang kuat untuk menutup celah penghindaran pajak. Namun, usulan itu dicoret. Alasannya, ada kekhawatiran potensi abuse of power dan excessive tax collection yang bermuara pada iklim berusaha dan berinvestasi. Simak berbagai ulasan mengenai kebijakan dalam UU HPP pada laman berikut.
Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah dalam reformasi perpajakan selanjutnya. Bisa jadi, skema-skema kebijakan yang diusulkan – dengan justifikasi sangat kuat – tidak mendapatkan momentumnya kali ini. Alasannya, situasi pandemi.
Tidak berarti usulan kebijakan itu dilupakan. Potensi celah yang muncul harus dicarikan solusi, bukan malah menjadi justifikasi tidak diperlukannya kebijakan tersebut, terlebih jika menyangkut persoalan fundamental pajak.
Di sisi lain, kita memahami berbagai perkembangan perpajakan internasional, termasuk konsensus pajak digitalisasi ekonomi, pada akhirnya menuntut perubahan hukum domestik. Dalam konteks UU HPP, keberlanjutan reformasi juga menyangkut ketentuan pelaksananya. Harus ada jaminan kepastian bagi wajib pajak.
Rasanya tidak salah jika kita menyebut jalan tengah yang ditempuh melalui UU HPP belum berujung. Jalan reformasi perpajakan masih panjang seiring dengan makin dinamisnya aktivitas ekonomi. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.