JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah masih menghadapi masalah adanya peraturan tata niaga perdagangan yang dinilai menghambat jalannya perekonomian. Kalangan pelaku usaha pun mengeluhkan banyaknya ketentuan tata niaga yang menimbulkan ketidakpastian usaha.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan peraturan tata niaga mengalami fase naik dan turun. Menurutnya hal ini mendistorsi kegiatan ekonomi masyarakat yang berdampak terhadap industri, investasi, ekspor, dan inflasi.
“Pada tahun pertama deregulasi, peraturan tata niaga itu menurun. Namun 2016, dia naik lagi bahkan lebih tinggi dari sebelum pelaksanaan deregulasi,” ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, Rabu (5/4).
Darmin mengatakan terdapat 23 regulasi tata niaga yang menjadi ketentuan larangan terbatas (Lartas) impor dan ekspor yang terbit dalam masa Paket Kebijakan Ekonomi (PKE), baik yang tidak terkoordinasi dengan Satgas Deregulasi maupun yang sifatnya melengkapi pelaksanaan PKE.
“Bentuknya bisa macam-macam. Ada yang rekomendasi. Kalau tidak ada itu, tidak jalan (usahanya),” tuturnya.
Sedangkan, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Edy Putra Irawady menyebut ada 12 peraturan yang merupakan Lartas Baru, di mana 9 di antaranya belum sesuai dengan arahan PKE.
“Juga ada 11 peraturan Lartas bukan dalam rangka PKE, 5 di antaranya bersifat restriktif,” kata Edy.
Saat ini, posisi lartas di Indonesia sebesar 51% dari 10.826 pos tarif Harmonized System (HS) (BTKI – Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2017) barang impor yang tata niaganya diatur oleh 15 Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai ketentuan Lartas.
Sebagai pembanding, rata-rata negara ASEAN memiliki ketentuan lartas hanya sebesar 17%. Hal ini disebabkan dalam ketentuan Lartas masing-masing K/L memberlakukan syarat edar atau perlindungan konsumen menjadi syarat impor, seperti SNI dan SKI BPOM.
Di sisi lain, terdapat 18 kasus tata niaga yang kalah dalam sengketa WTO, karena telah melanggar ketentuan import licensing (WTO-GATT Article VIII) dan komitmen internasional (WTO Schedule XXI) untuk mentransformasikan non tariff barriers menjadi tarif dengan ikatan maksimal tarif 40%.
Untuk itu pemerintah merekomendasikan tiga hal. Pertama, perlunya mengkaji usulan tata niaga dan menerbitkan Inpres untuk membekukan penerbitan peraturan tata niaga baru pada 15 K/L. Kedua, mengevaluasi regulasi ekspor dan impor yang berjalan. Terakhir, melakukan rasionalisasi peraturan, menghilangkan duplikasi/pengulangan, dan pengurangan tata niaga.
Hadir dalam rapat koordinasi antara lain Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi serta perwakilan kementerian dan lembaga terkait. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.