TRANSAKSI e-commerce menurut Organisation for Economic Co-operation and Development yang diadopsi Surat Edaran Dirjen Pajak No.62/PJ/2013, dibedakan ke dalam 4 kelompok, yaitu pasar online (online marketplace), toko online (online retail), iklan online(classified ads) dan voucher (daily deals).
Kini, mengutip data Kementerian Perdagangan, transaksi e-commerce di Indonesia sudah mencapai Rp120 triliun, atau 8,5% dari produk domestik bruto (PDB) sektor perdagangan Rp1400 triliun. PDB e-commerce itu diperoleh dari 75 ribu pelaku e-commerce yang diprediksi akan terus meningkat.
Berdasarkan Markplus Insight dan Marketeers ada sekitar 5 juga pedagang yang siap melakukan penjualan onlineapabila infrastruktur dan jaringan telah memadai. Dengan demikian, bisa diprediksi betapa besarnya transaksi e-commerce pada beberapa tahun mendatang.
Dalam transaksi e-commerce terdapat potensi pajak yang seharusnya disetorkan kepada negara. Namun, sampai saat ini pemungutan paja tersebut masih menjadi tantangan mengingat transaksi e-commerce tidak hanya dilakukan di online marketplace, tetapi juga media sosial.
Survei IdEA (Indonesia E-Commerce Association) di 11 kota menyatakan pengguna transaksi e-commerce di online marketplace jauh di bawah transaksi di media sosial, hanya 16% berbanding 56%. Hal ini menunjukkan potensi pajak pada media sosial lebih besar dari online marketplace.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pengguna Internet di Indonesia pada 2013 mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95% di antaranya menggunakan Internet untuk mengakses jejaring sosial. Situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook.
Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India. Di Facebook banyak sekali forum jual-beli untuk melakukan pemasaran online, bahkan hampir di setiap kota di Indonesia ada forumnya.
Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir biaya kirim dan memberikan rasa aman, karena fakta yang terjadi di lapangan adalah transaksi melalui forum jual-beli di Facebook dilakukan secara langsung, dan Facebook hanya digunakan sebagai platform mereka untuk ‘janjian’.
Laporan dari Tetra Pak Index pada 2017 mencatat ada 132 juta penguna Internet di Indonesia yang 40% di antaranya penggila media sosial. Angka ini meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan 2016 saat pengguna Internet masih 45 juta, dan pengguna aktif media sosial mencapai 39%.
Jika pajak hanya diterapkan pada transaksi online marketplace, maka akan terjadi peralihan modus transaksi e-commerce ke media sosial. Indonesia sebagai negara tempat berbagai media sosial berada seharusnya bisa menjadi pengendali utama perdagangan e-commerce ini.
Karena itu, perlu regulasi terhadap media sosial yang mewajibkan pelaku e-commerce melaporkan transaksinya. Pelaporan ini bisa ditempuh melalui fitur e-commerce di dalamnya, atau fitur tax sosio-commerce, untuk memaksimalkan potensi pajak dalam transaksinya melalui media sosial.
Regulasi tersebut memiliki urgensi yang sangat relevan mengingat Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbanyak pengguna media sosial. Apabila regulasi ini diterapkan akan sangat besar dampaknya bagi prospek perpajakan di Indonesia.
Tax Sosio-Commerce
MENURUT Heidi Cohen, social commerce terjadi ketika media sosial bertemu dengan aktivitas belanja. Media sosial melakukan transaksi jual-beli melalui sebuah akun dengan membuat forum jual-beli, atau akun itu sendiri digunakan untuk menjual produk dengan memposting gambar produk tersebut.
E-commerce dan sosio-commerce sama-sama merupakan platform yang dijadikan tempat jual-beli. Bedanya, e-commerceadalah untuk transaksi di mana dalam platform tersebut sudah disediakan fitur-fitur untuk bertransaksi, hingga akhirnya barang sampai ke konsumen dan uang ke penjual.
Sementara dalam sosio-commerce, transaksi dilakukan dengan bertemu atau cash on delivery, dan platform media sosial hanya sebagai perantara, karena hakikatnya media sosial adalah media yang digunakan untuk bersosialisasi atau melakukan kegiatan sosial, bukan transaksi jual-beli.
Tax sosio-commerce ini menjawab permasalahan tersebut, karena regulasi pajak harus mewajibkan penambahan fitur e-commerce pada media sosial guna kemudahan dalam menghitung pajak yang harus disetorkan. Fitur tersebut diletakkan pada akun-akun yang menjadi admin transaksi jual beli.
Fitur itu tidak mengubah user interfacedan user experience di media sosial. Hanya ketika admin mengupload produk, otomatis harga yang ditampilkannya sudah termasuk PPN. Saat terjadi transaksi, admin harus mengklik ‘barang sudah terjual” guna meraih faktur pajak yang dikirim ke email admin.
Untuk pajak penghasilannya, nanti akan ada email masuk yang terdaftar sebagai admin, yang berisi link untuk mengisi e-filling milik Ditjen Pajak, dan untuk keabsahannya setiap admin wajib melengkapi formulir pendaftaran yang berisi NPWP, nomor rekening untuk melakukan transaksi, dan pindaian KTP.
Ada tiga tahap agar tax sosio-commercedapat diimplementasikan. Pertama,pertemuan dengan admin media sosial yang melakukan transaksi. Kedua,membuat peraturan perundang-undangan. Ketiga, melakukan integrasi akun admin guna menambahkan fitur e-commerce pada media sosial.
Tidak terlepas dari aktivitas inti yang perlu dilakukan, berikut ini aktivitas penunjang yang harus dilakukan untuk merealisasikan pajak e-commerce dan sosio-commerce. Pertama, pengumpulan database semua pelaku usaha e-commerce dan sosio-commerce yang aktif di Indonesia.
Kedua, set up fitur e-commerce pada media sosial. Set up digunakan untuk membentuk aktivitas belanja di media sosial lebih bisa terkontrol dengan adannya tambahan PPN pada setiap produk yang diupload dan supervisi yang dilakukan kepada admin guna mendapatkan PPh dari admin.
Ketiga, manajemen kontrol. Pemerintah memiliki hak kontrol, yaitu kekuatan untuk memaksa dan memberi sanksi para pelaku usaha online yang tidak taat dalam membayar pajak layaknya sanksi yang diterima para pelaku usaha offline.
Regulasi pajak e-commerce dan sosio-commerce tentu menarik karena akan terjadi keadilan dalam pemungutan pajak sekaligus pemaksimalan potensi pajak yang dihasilkan dari semakin canggihnya teknologi saat ini.
Untuk membantu mempercepat menyelesaikan pemajakan itu, Djuniardi (2016) menyatakan perlu ada pengetatan izin perdagangan online dan izin pembukaan situs perdagangan online di Indonesia, dan memonitor data pengiriman, transaksi.
Selain itu, perlu kewajiban untuk memastikan data transaksi di situs tetap ada sampai jangka waktu tertentu, adanya ketentuan satu payment gateway, dan membentuk badan pengawas yang bertugas mengawasi lalu lintas komunikasi melalui Internet agar tidak menimbulkan cybercrime.
Di sisi lain, Ditjen Pajak juga harus dapat mengecek website, situs, forum, admin pelaku e-commerce sehingga dapat mengetahui pelaku e-commerce tersebut, ditambah lagi biasanya tercantum nomor rekening penjual yang dapat mempermudah untuk mengetahui siapa yang menerima penghasilan.
Data tersebut akan digunakan untuk membuktikan bahwa penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak sudah benar. Apabila diketahui masih salah, maka tersebut digunakan sebagai dasar tindakan koreksi.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.