SURVEI RSM

Proyek AntiBEPS Kerek Biaya Kepatuhan

Redaksi DDTCNews | Rabu, 08 Juni 2016 | 17:06 WIB
Proyek AntiBEPS Kerek Biaya Kepatuhan Nick Graham, Direktur Pajak RSM Indonesia, memaparkan hasil survei RSM, Rabu (8/6).

JAKARTA, DDTCNews – Kalangan swasta menduga akan ada kenaikan biaya kepatuhan seiring dengan langkah sejumlah negara mengadopsi proyek anti-BEPS (Base Erotion and Profit Shifting) yang digagas oleh Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD).

Hal tersebut terungkap dalam survei global firma konsultan RSM yang dipublikasikan di Jakarta, Rabu (8/6). Dalam survei itu, sebanyak 65% responden meyakini biaya kepatuhan pajak akibat proyek anti-BEPS itu akan meningkat lebih dari 10%.

“Atas kenaikan tersebut, sebanyak 53% responden berencana menanggung beban pajaknya sendiri, 30% akan meminta pemegang sahamnya ikut menanggung beban, dan 35% akan membagikannya sebagian kepada para pelanggannya,” ungkap Nick Graham, Direktur Pajak RSM Indonesia, Rabu (8/6).

Baca Juga:
DJP: Indonesia Sudah Terapkan 12 dari 15 Rencana Aksi BEPS

Biaya kepatuhan pajak adalah biaya yang harus ditanggung wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan di luar pajak terutangnya. Biaya kepatuhan biasa diperinci menjadi tiga, yaitu biaya dana langsung, biaya waktu, dan biaya psikologis (Devano, 2006).

Nick menjelaskan kalangan swasta memiliki kekhawatiran terhadap peraturan BEPS. Lebih dari itu, hanya 20% di antara mereka yang telah menyesuaikan diri dengan regulasi transfer pricing yang baru. Mayoritas lainnya atau sekitar 78% perusahaan belum siap. Hal yang sama juga terlihat di Indonesia.

“Di Indonesia, kami melihat kesadaran pelaku usaha nasional mengenai proyek anti-BEPS masih rendah, karena saat ini prioritas utama mereka adalah audit pajak dan aktivitas yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP) dalam rangka mencapai target perolehan pajak yang cukup ambisius,” ujarnya.

Baca Juga:
Pemerintah Kaji Bentuk Insentif Pajak yang Sejalan dengan Pilar 2

Sikap DJP

Menurut Nick, area yang masih menjadi perdebatan dan belum ada kejelasan adalah apakah DJP akan melakukan penyesuaian aturan-aturan transfer pricing sesuai dengan Proyek Anti-BEPS OECD. Atau, tetap dengan melakukan pendekatan yang dilakukan dengan hanya mengikuti sebagian prinsip OECD.

“Kami melihat saat ini belum ada peraturan yang terperinci mengenai pelaporan antarnegara mengenai transfer pricing. Ini tentu lebih relevan bagi perusahaan multinasional ketimbang perusahaan Indonesia, mengingat jumlah perusahaan Indonesia dengan perusahaan anak di luar negeri masih sangat terbatas.”

Baca Juga:
Ada Banyak Inisiatif Multilateral Perangi Profit Shifting, Efektifkah?

Survei RSM dilakukan oleh Euromoney Institutional Investor sejak awla 2016. Responden survei tersebut mencakup 762 perusahaan. Namun, analisis hanya dilakukan terhadap 494 responden yang benar-benar memahami Proyek Anti-BEPS OECD.

Sebanyak 47% responden berdomisili di Eropa, 28% berbasis Amerika Serikat, 12% berbasis Asia, dan 7% sisanya berbasis dari berbagai negara lain. Responden-responden ini pun diambil dari berbagai industri, yaitu dari jasa keuangan (22%), jasa profesi (20%), dan industri barang konsumsi (14%).

Survei juga mengkategorikan berbagai skala perusahaan, yaitu 39% dari perusahaan dengan pendapatan tahunan kurang dari US$500 juta, 35% dari pendapatan antara US$500 juta hingga US$1 miliar, dan 26% dengan pendapatan lebih dari US$5 miliar. (Bsi)


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 10 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN ANTIPENGHINDARAN PAJAK

DJP: Indonesia Sudah Terapkan 12 dari 15 Rencana Aksi BEPS

Jumat, 04 Oktober 2024 | 09:17 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemerintah Kaji Bentuk Insentif Pajak yang Sejalan dengan Pilar 2

Selasa, 24 September 2024 | 15:15 WIB KULIAH UMUM DDTC-PERBANAS

Ada Banyak Inisiatif Multilateral Perangi Profit Shifting, Efektifkah?

Jumat, 06 September 2024 | 11:52 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Rezim Aset Tidak Berwujud Lokal Kunci Rasio Pajak Optimal

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:00 WIB LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?