Ilustrasi logo DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Sistem inti administrasi perpajakan atau core tax system yang baru akan efektif beroperasi sepenuhnya pada 2023. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (23/1/2019).
Pemutakhiran sistem administrasi sesuai dengan Peraturan Presiden No.40/2018 ini, menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama, akan menggantikan sistem administrasi perpajakan yang sudah dipakai sejak 2012.
Namun, pemutakhiran membutuhkan waktu tidak singkat. Saat ini, DJP masih dalam tahap procurement atau biddingagen pengadaan. Agen ini akan melakukan lelang dan menentukan pemenang. Pada tahun depan, DJP akan masuk tahap pendefinisian semua proses bisnis (deployment).
“Deployment dilakukan dalam dua tahap yang terdiri dari puluhan proses bisnis. Ini baru akan selesai semua pada 2023,” ujar Hestu.
Selain topik pembaruan core tax system, beberapa media nasional juga masih menyoroti upaya peningkatan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio. Apalagi dalam debat pertama Capres-Cawapres 2019-2024, tawaran tax ratio 16% kembali muncul.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan core tax system yang baru diharapkan mampu menyinergikan data yang berkaitan dengan perpajakan dari antarlembaga. Dengan demikian, kepatuhan wajib pajak diharapkan terus meningkat.
“Sistem informasi yang ada saat ini memiliki fungsi yang terbatas, seperti belum adanya dukungan terhadap konsolidasi pemeriksaan, pelaporan penagihan dalam sistem yang terintegrasi,”jelasnya.
Hestu mengaku saat ini masih ada ruang cukup lebar untuk mengerek tax ratio yang saat ini masih sekitar 11%. Idealnya, tax ratio Indonesia berada di atas 15%. Namun, dia berasalan kenaikan tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat karena pertimbangan efeknya ke perekonomian.
“Target 2019 misalnya, disusun dengan tax ratio meningkat menjadi 12,1%. Artinya peningkatan cukup moderat untuk menjaga situasi masyarakat dan perekonomian tetap kondusif,” katanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani setuju jika tax ratio harus ditingkatkan. Namun, peningkatan itu tidak bisa dilakukan secara mendadak dalam waktu singkat jika tidak ada penambahan basis pajak. “Pemerintah harus ekstensifikasi, tidak bisa hanya intensifikasi,” tegasnya.
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mencatat tingkat ekspor dari kawasan berikat lebih banyak dibandingkan dengan aliran impornya. Pada 2017, ekspor dari kawasan berikat tercatat senilai Rp780,8 triliun. Sementara, arus impor hanya senilai Rp325,7 triliun. Dengan demikian rasio perbandingan ekspor dan impor mencapai 2,8%, melebihi target yang ditetapkan 2,4%.
Pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi nasional dan draf Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sekitar 5,4%-6,0%. Sektor manufaktur masih diharapkan menjadi motor pertumbuhan melalui produktivitas, investasi, dan ekspor. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.