Dirjen Pajak Suryo Utomo. (foto: DJP)
APBN 2022 telah menetapkan target penerimaan pajak senilai Rp1.265 triliun. Nilai tersebut naik sekitar 3% dari target dalam APBN 2021 Rp1.229,6 triliun. Jika penerimaan pajak tahun ini hanya sesuai dengan outlook senilai Rp 1.142,5 triliun, target pada 2022 naik hingga 10,7%.
Target dalam APBN 2022 juga belum memperhitungkan efek UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasalnya, UU HPP diharapkan membantu upaya optimalisasi penerimaan pajak. Apalagi, defisit anggaran harus kembali maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai 2023.
Untuk laporan Fokus Akhir Tahun, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Dirjen Pajak Suryo Utomo secara tertulis. DDTCNews ingin mencari tahu berbagai kebijakan pajak serta upaya yang dijalankan Ditjen Pajak (DJP) untuk mengamankan penerimaan. Berikut petikannya.
Apa langkah DJP untuk mengamankan penerimaan pajak 2022?
Pada APBN 2022, penerimaan pajak diperkirakan akan mencapai Rp1.265 triliun atau tumbuh 10,7% dari outlook pada 2021. Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut seiring dengan pulihnya aktivitas perekonomian dan didukung oleh reformasi perpajakan yang dilakukan.
Tren pemulihan ekonomi diperkirakan akan kembali ke jalur yang tepat dan dapat dijaga sampai dengan akhir 2021. Tren pemulihan diharapkan akan berlanjut pada 2022 meskipun penerimaan perpajakan diproyeksikan masih berada pada level di bawah kondisi prapandemi.
Jumlah wajib pajak juga diharapkan dapat terus meningkat seiring dengan reformasi perpajakan serta perluasan basis pajak yang dilakukan. Langkah yang akan dilakukan untuk optimalisasi penerimaan pajak didasarkan pada Rencana Strategis DJP Tahun 2020 – 2024. Dukungan kebijakan teknis pajak pada 2022 dilakukan melalui beberapa upaya.
Apa saja dukungan kebijakan teknis tersebut?
Pertama, perluasan basis pemajakan, antara lain dengan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak melalui kegiatan edukasi dan peningkatan pelayanan.
Kedua, peningkatan ekstensifikasi dan pengawasan berbasis kewilayahan sehingga jangkauan kepada wajib pajak makin luas. Ketiga, perluasan kanal pembayaran pajak untuk memudahkan wajib pajak mengakses satu aplikasi untuk dapat melakukan pembayaran berbagai jenis pajak.
Keempat, optimalisasi pengumpulan dan pemanfaatan data, baik data internal maupun data eksternal, termasuk data automatic exchange of information (AEoI) dan data perbankan. Kelima, penegakan hukum yang berkeadilan dan mendorong kepatuhan wajib pajak.
Keenam, keberlanjutan proses reformasi perpajakan yang meliputi pilar-pilar organisasi, sumber daya manusia, proses bisnis, data dan IT (information technology), serta regulasi. Salah satunya diwujudkan melalui pengembangan core tax system.
Seberapa besar peranan UU HPP untuk mencapai target penerimaan pajak tahun depan?
UU HPP merupakan bagian dari rangkaian reformasi perpajakan yang menjadi salah satu ikhtiar bersama bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Maju. Reformasi perpajakan ini selaras dengan upaya negara dalam mempercepat pemulihan ekonomi serta mendukung pembangunan nasional dalam jangka panjang.
UU HPP bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, memperluas basis pajak, menutup celah praktik-praktik erosi perpajakan, instrumen untuk mewujudkan keadilan, serta memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.
Selain itu, UU HPP juga bertujuan untuk memperbaiki sistem perpajakan, menyesuaikan dengan international best practice, menaikkan tarif PPN, serta menambah bracket tarif pajak penghasilan (PPh) pada lapisan tertinggi sebesar 35%.
Adanya UU HPP diharapkan mampu membantu upaya optimalisasi penerimaan pajak pada 2022 dan tahun-tahun berikutnya. Adapun target penerimaan dalam UU APBN 2022 belum mempertimbangkan dampak atas diberlakukannya UU HPP ini.
Bagaimana komposisi PPh dan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam struktur penerimaan pajak?
Pemerintah memproyeksi terjadi peningkatan penerimaan dari PPh migas sebesar 3,4% pada 2022 yang didorong oleh membaiknya harga minyak dunia sejalan dengan membaiknya harga komoditas utama di dunia.
Selain itu, terdapat juga potensi peningkatan penerimaan dari jenis pajak PPh nonmigas sebesar 11,3% dibandingkan outlook 2021. Ini terutama dipengaruhi aktivitas perekonomian Indonesia yang diperkirakan terus mengalami perbaikan.
Jenis pajak PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) juga diproyeksikan mengalami peningkatan sebesar 10,5% dari outlook 2021. Pada APBN 2022, PPh migas diperkirakan Rp47,3 triliun, sedangkan penerimaan PPh nonmigas ditargetkan Rp633,6 triliun. Adapun untuk penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan Rp554,4 triliun.
Target penerimaan PPN dan PPnBM ditetapkan naik dari Rp518,55 triliun pada tahun ini menjadi Rp554,38 triliun pada tahun depan. Faktor apa yang berpengaruh pada kinerja pos pajak ini?
Proyeksi kenaikan PPN dan PPnBM dipengaruhi peningkatan aktivitas ekonomi. Kenaikan juga merupakan dampak positif dari dukungan perbaikan administrasi perpajakan berupa pengembangan fasilitas perpajakan online (e-service), seperti e-faktur dan e-bupot. Ada pula perluasan pemungutan PPN PMSE (perdagangan melalui sistem elektronik) dengan memperhitungkan normalisasi pertumbuhan yang terjadi pada 2021.
Lantas, bagaimana proyeksi kondisi yang akan memengaruhi kinerja penerimaan PPh badan?
Terkait dengan PPh badan, walaupun masih terdapat beberapa sektor yang terdampak pandemi Covid-19, penerimaannya tetap ditargetkan untuk tumbuh. Hal ini terutama dipengaruhi oleh meningkatnya aktivitas bisnis industri dan badan usaha.
Perbaikan aktivitas itu juga dampak dari pemberian insentif perpajakan pada dunia usaha. Perbaikan ekonomi tersebut juga didukung dengan kebijakan pemerintah pada 2021 dengan tetap melanjutkan insentif perpajakan yang selektif dan terukur dalam rangka membantu likuiditas wajib pajak serta terobosan regulasi di bidang perpajakan.
Melalui PMK 149/2021, pemerintah menambah jumlah sektor usaha yang berhak memanfaatkan insentif. Apakah ini indikasi dunia usaha masih menghadapi tantangan pandemi?
Terbitnya PMK 149/2021 ditujukan kepada sektor usaha yang masih membutuhkan dukungan agar menjadi daya ungkit perekonomian secara luas. Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menangani dampak pandemi serta mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Bila profitabilitas dan cash flow pelaku usaha diproyeksikan masih akan terganggu pada tahun depan, apakah pemberian insentif pajak untuk wajib pajak terdampak masih akan dilanjutkan?
Sampai dengan saat ini belum terdapat pembahasan untuk memperpanjang pemberian insentif pajak tersebut pada tahun depan. Jika terdapat informasi atau perkembangan terkait hal ini akan sesegera mungkin kami sampaikan kepada masyarakat.
Target PPh final pada 2022 ditetapkan senilai Rp131,6 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan target tahun ini Rp117,7 triliun. Apakah ini dampak dari program pengungkapan sukarela (PPS)?
Kenaikan target PPh final diakibatkan pulihnya beberapa sektor usaha yang semula terdampak pandemi covid 19. Target penerimaan pajak sebagaimana tercantum dalam UU APBN 2022 belum memperhitungkan dampak pelaksanaan UU HPP. Hal ini disebabkan pada saat RAPBN dibahas dengan DPR, ketentuan dalam RUU HPP juga masih dalam pembahasan.
PPS dalam UU HPP diestimasi akan menambah penerimaan pajak tahun depan. Bagaimana persiapan DJP?
Saat ini rancangan peraturan menteri keuangan (PMK) masih dalam proses pembahasan dan diharapkan dapat segera disahkan. Walaupun masih menunggu PMK tersebut terbit, rencananya pelaksanaan PPS dilakukan sepenuhnya secara elektronik.
Wajib pajak menyampaikan pengungkapan hartanya, baik atas kebijakan I maupun II, secara online. Atas pengungkapan harta bersih tersebut, kepada wajib pajak diterbitkan surat keterangan secara elektronik atau otomatis.
Wajib pajak dapat melakukan pengungkapan harta lebih dari 1 kali atau melakukan pencabutan pengungkapan harta bersih tersebut, sepanjang dilakukan dalam periode 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022.
Untuk mendukung kelancaran program ini, DJP terus mematangkan kesiapan infrastruktur IT-nya. Uji coba infrastruktur untuk program ini telah dilakukan beberapa kali dan terus dievaluasi serta dikembangkan sesuai dengan hasil uji coba.
Pemerintah menyatakan kebijakan II PPS bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Apa yang dijalankan DJP agar kepatuhan wajib pajak orang pribadi peserta kebijakan II PPS tetap terjaga?
Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, pemerintah melakukan perbaikan proses bisnis layanan yang user friendly berbasis IT. Difokuskan pada penguatan digital services baik melalui layanan online, telepon, maupun nontelepon. DJP juga tetap melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan melalui instansi vertikal, yaitu Kanwil dan KPP, sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya.
Pada dasarnya tujuan PPS adalah mendorong dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Hal ini dilakukan untuk memfasilitasi itikad baik wajib pajak memperbaiki kepatuhan atas kewajiban perpajakan pada tahun pajak yang telah ditentukan.
Namun, program ini [PPS] tetap harus diikuti upaya pengawasan dan penegakan hukum yang adil dan konsisten. DJP juga akan memberikan layanan yang baik terhadap wajib pajak yang sudah patuh dan berisiko rendah. Selain itu, peningkatan kepatuhan wajib pajak diharapkan dapat berbanding lurus dengan kenaikan penerimaan pajak pada sektor yang dituju.
Terkait dengan pengawasan, bagaimana dampak skema pengawasan berbasis kewilayahan terhadap kepatuhan wajib pajak?
Pengawasan wajib pajak berbasis kewilayahan berdampak terhadap naiknya kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh. Meskipun di tengah situasi pandemi Covid-19, jumlah SPT Tahunan PPh wajib pajak berbasis kewilayahan yang diterima pada 2020 dan 2021 mengalami kenaikan signifikan dibandingkan dengan SPT Tahunan PPh yang diterima pada 2019.
Penerimaan SPT Tahunan PPh pada 2020 untuk wajib pajak berbasis kewilayahan sebanyak 14,4 juta SPT, meningkat 10,52% dibandingkan dengan penerimaan SPT pada 2019. Sementara penerimaan SPT Tahunan PPh pada 2021 sebanyak 15,3 juta SPT atau meningkat 6,22% dibanding pada 2020.
Seberapa besar peranan 18 KPP Madya baru dalam mengoptimalkan penerimaan?
38 KPP Madya diharapkan dapat berkontribusi pada struktur penerimaan pajak sebesar 33,79%. Hal ini cukup signifikan mengingat sebelumnya sebanyak 20 KPP Madya bertanggung jawab pada penerimaan pajak sebesar 19,53%.
Terdapat peningkatan kepatuhan karena pengawasan yang lebih tersegmentasi atas wajib pajak strategis. Pembentukan KPP Madya berperan dalam memperbaiki sistem administrasi serta tata kerja DJP yang pada akhirnya dapat meningkatkan layanan perpajakan kepada wajib pajak strategis untuk optimalisasi penerimaan negara.
Di hadapan DPR, Anda menjelaskan mengenai desain ulang 21 proses bisnis. Apa proses bisnis yang dimaksud? Bagaimana dampaknya terhadap kualitas dan kecepatan pelayanan?
Terdapat 21 proses bisnis yang akan dilakukan rancang ulang dalam proyek PSIAP (pembaruan sistem inti administrasi perpajakan) DJP, yaitu pendaftaran, pengawasan kewilayahan/ekstensifikasi, pengelolaan SPT, pembayaran, data pihak ketiga, serta exchange of information (EoI).
Kemudian, ada pula penagihan, taxpayer account management (TAM), pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan, compliance risk management (CRM), business intelligence (BI), intelijen, document management system (DMS), data quality management (DQM), keberatan dan banding, nonkeberatan, pengawasan, penilaian, layanan edukasi, serta knowledge management.
Perancangan ulang beberapa proses bisnis tersebut diharapkan dapat menjadikan layanan DJP berjalan secara lebih efektif dan efisien, baik dari segi waktu, biaya, serta sumber daya lainnya yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan tujuan reformasi perpajakan, yaitu menciptakan sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
Dalam hal pengembangan core tax administration system, apa yang akan dilakukan oleh DJP pada tahun depan?
Ke depannya, DJP akan melakukan tahap build and test yang telah dimulai pada Juni 2021 sampai dengan April 2023. Tahapan pembangunan dan pengujian terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu pembangunan modul aplikasi sistem inti yang baru. Kegiatan pengujian atau testing, baik pengujian sistem, instalasi, integrasi sistem, serta uji penerimaan oleh pengguna.
Dengan adanya UU HPP, pemerintah sudah memiliki kewenangan untuk menunjuk platform digital menjadi pemungut pajak. Belajar dari pengalaman dibatalkannya implementasi PMK 210/2018, apa yang akan dijalankan DJP untuk memastikan kebijakan berjalan?
DJP senantiasa mendengarkan saran serta masukan masyarakat dalam menerbitkan suatu kebijakan agar sesuai dengan kondisi perekonomian yang saat ini tengah terjadi. Ke depannya, kami juga akan berusaha sebaik mungkin dalam melakukan diseminasi atas kebijakan dimaksud agar terdapat kesatuan pemahaman antara DJP selaku pembuat kebijakan dan masyarakat.
Bersamaan dengan momentum Indonesia memegang Presidensi G-20, apa yang akan diupayakan pemerintah dalam konteks pencapaian konsensus solusi perpajakan digitalisasi ekonomi?
Indonesia dapat mendorong percepatan penyelesaian diskusi atas pembahasan substansi pengaturan Pilar 1 dan Pilar 2 tepat waktu. Ini bisa dengan issue notes yang dapat mendorong Inclusive Framework on Base Erosion and Profits Shifting (IF on BEPS) untuk segera menyelesaikan pengaturan yang lebih sederhana, adil, dan setara yang dapat diterima semua negara.
Sebagai pemegang Presidensi G-20 pada 2022, Indonesia harus mengoptimalkan perannya untuk terus berkomitmen dalam reformasi arsitektur perpajakan internasional, tidak hanya dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak atas transaksi lintas batas.
Hal yang terpenting adalah reformasi arsitektur perpajakan internasional tersebut mampu memberikan hak pemajakan lebih adil untuk semua negara atau yurisdiksi anggota IF on BEPS, terlebih bagi negara berkembang yang merupakan negara sumber seperti Indonesia. (Tim Redaksi DDTCNews/kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.