Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah telah menerbitkan PP 54/2023 mengenai pelaksanaan prinsip ultimum remedium di bidang cukai pada tahap penyidikan. Dengan prinsip tersebut, proses penyidikan dapat dihentikan setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan penerapan prinsip ultimum remedium atas pelanggaran pidana di bidang cukai bertujuan menciptakan keadilan restoratif (restorative justice) yang lebih objektif.
“Bayangkan 2 karton [rokok ilegal] harus disidik dan dibawa ke pengadilan, antara biaya untuk penegakan hukum dan kerugian yang diakibatkan tindak pidananya bisa tidak imbang. Makanya perlu restorative justice," katanya, Selasa (12/12/2023).
Nirwala mengatakan PP 54/2023 diterbitkan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menteri keuangan, jaksa agung, atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam waktu 6 bulan sejak tanggal surat permintaan.
Penghentian penyidikan ini hanya dilakukan atas tindak pidana Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai s.t.d.d UU HPP. Kelima pasal itu terkait dengan pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
Penyidikan dihentikan setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 4 kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Apabila mengajukan penghentian penyidikan, tersangka perlu menyampaikan permohonan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk. Setelah permohonan diterima, menteri atau pejabat yang ditunjuk akan melakukan penelitian guna memastikan tindak pidana yang dilanggar dan denda yang harus dibayar.
JIka hasil penelitian memenuhi ketentuan penghentian penyidikan, menteri atau pejabat yang ditunjuk akan menyampaikan surat persetujuan atas permohonan penghentian penyidikan. Surat tersebut bakal mencantumkan besaran denda yang harus dibayar beserta batas waktu pembayarannya.
Tersangka pun harus membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) PP 54/2023 ke rekening pemerintah yang ditetapkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Setelah melakukan pembayaran, tersangka perlu menyampaikan bukti pembayaran sanksi denda beserta surat pernyataan pengakuan bersalah kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Dengan diterimanya bukti pembayaran tersebut, menteri atau pejabat yang ditunjuk akan menyampaikan surat permintaan penghentian penyidikan kepada jaksa agung atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu maksimal 5 hari.
Berdasarkan pada surat permintaan penghentian penyidikan, jaksa agung atau pejabat yang ditunjuk nantinya akan melakukan penelitian terhadap terpenuhinya ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP 54/2023 dan kelengkapan dokumen.
Jika kedua syarat tersebut terpenuhi, jaksa agung atau pejabat yang ditunjuk menetapkan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai, pembayaran denda, dan permintaan penghentian penyidikan akan diatur lebih lanjut dalam PMK. Adapun tata cara penghentian penyidikan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan kejaksaan.
Sebelumnya, Kemenkeu juga telah menerbitkan PMK 237/2022 yang memuat ketentuan teknis prinsip ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai di tahap penelitian. Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.