Pada 30 Juni hingga 2 Juli 2016, Institute for Austrian and International Tax Law dan Vienna University of Economics and Business kembali mengadakan rangkaian seminar bertajuk ‘Rust Conference’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji mengikuti rangkaian acara tersebut. Berikut bagian kedua dari laporannya:
Apa itu Tax Gap?
JIKA ketidakpatuhan pajak adalah suatu persoalan serius, maka sejauh mana pemerintah di berbagai negara memiliki alat untuk mengukur hal tersebut? Hal ini menjadi salah satu topik diskusi dalam Rust Conference.
Pada dasarnya terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan kinerja penerimaan pajak dan secara tidak langsung dapat dijadikan indikasi tingkat ketidakpatuhan, seperti: tax ratio, tax effort, dan sebagainya.
Akan tetapi, indikator yang sering dipergunakan untuk menggambarkan ketidakpatuhan pajak dengan lebih tepat (direct) adalah tax gap. Indikator ini dihitung berdasarkan selisih antara potensi penerimaan pajak sesuai dengan ketentuan berlaku dengan realisasi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan.
Mayoritas negara ternyata tidak melakukan perhitungan resmi (official assessment) secara rutin. Walau demikian, terdapat keinginan yang kuat untuk memulai aktivitas tersebut.
Tekanan dari publik, akademisi maupun politik atas informasi mengenai situasi pajak serta fiscal incidence menjadi faktor pendorong utama.
Tujuan utama menghitung tax gap pada dasarnya dimaksudkan agar otoritas pajak mengetahui seberapa (belum) optimalnya pengumpulan pajak. Indikator tersebut sekaligus juga menjadi panduan mengenai jenis pajak, sektor, maupun wajib pajak yang perlu untuk dikejar.
Isu Tax Gap
ADA beberapa isu penting dari perhitungan tax gap. Pertama, siapa yang bertanggungjawab membuat hal tersebut. Terdapat negara di mana perhitungan tersebut dilakukan oleh administrator pajak seperti Inggris, Chile, Swedia, Amerika Serikat.
Selain itu, ada pula yang dilakukan sebagian oleh pemerintah negara bagian seperti di Australia, ataupun oleh Kementerian Keuangan di negara-negara Amerika Latin.
Namun banyak negara tidak memberikan mandat khusus mengenai hal ini, akhirnya perhitungan tersebut dapat saja dilakukan oleh universitas atau LSM misalkan di negara-negara Afrika.
Idealnya, perhitungan tax gap dilakukan secara rutin dan sistematis oleh pemerintah hasil kerja sama antara administrator pajak dengan Kementerian Keuangan, agar efektivitas meningkatkan kepatuhan pajak diketahui.
Kedua, metode pengukuran. Pada umumnya terdapat dua cara untuk mengukur tax gap: pendekatan top-down yang berasal dari informasi makroekonomi serta bottom-up yang berasal dari survey tentang penghasilan, tenaga kerja, maupun data audit pajak.
Penting untuk dicatat bahwa hasil perhitungan tax gap belum tentu 100% akurat terutama karena: (i) tergantung kualitas data; (ii) aktivitas penghindaran pajak sulit untuk diukur.
Oleh karena itu, menurut Eivind Furuseth dari Norwegian Business School, perhitungan tax gap menjadi sulit untuk diperbandingkan antarnegara.
Ketiga, jika pembuatan tax gap dimaksudkan sebagai upaya memetakan fiscal incidence (distribusi manfaat dan beban pajak), kajian tax gap sebaiknya dilengkapi dengan kajian mengenai tax expenditure. Hal ini telah diaplikasikan di Australia.
Terakhir, mengenai akses publik terhadap hasil estimasi tax gap. Sebagian besar peserta diskusi menganggap bahwa tax gap adalah informasi yang terbuka untuk publik karena merupakan ‘rapor’ kinerja dari otoritas pajak.
Namun, tidak sedikit yang menyatakan bahwa seringkali angka atau indikator yang ada dalam estimasi tersebut disalahartikan dan tidak dipahami dengan utuh oleh publik.
Akibatnya, tax gap justru hanya menciptakan suatu ‘kegaduhan’ tanpa sesuatu diskusi yang konstruktif. Hal ini dapat diatasi dengan suatu konferensi pers yang detail pada saat peluncuran hasil perhitungan tax gap.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.