ANALISIS PAJAK

Perlukah Inclusive Framework dalam Implementasi BEPS?

Sabtu, 23 Mei 2020 | 12:52 WIB
Perlukah Inclusive Framework dalam Implementasi BEPS?

Anggi P.I. Tambunan,
DDTC Consulting

BEBERAPA tahun terakhir ini, lanskap kebijakan perpajakan internasional berubah sangat signifikan. Perubahan ini ditandai dengan adanya aksi Base Erosion Profit Shifting (BEPS) yang diprakarsai oleh negara G-20 dan OECD.

Aksi ini merupakan respon dari begitu banyaknya praktik penghindaran pajak yang mengakibatkan hilangnya penerimaan pajak USD 100 hingga 240 miliar (OCED, 2017).

Aksi BEPS ini kemudian mendapatkan dukungan dari negara-negara lain. Hingga Desember 2019, terdapat 137 negara yang berpartisipasi dalam implementasi paket aksi ini. Mayoritas negara yang berpartisipasi merupakan negara berkembang (OECD, 2019).

Agar aksi ini dapat segera diimplementasikan, negara G-20 telah meminta kepada OECD agar melibatkan negara nonanggota G-20 dan OECD untuk turut berpartisipasi (OECD, 2017). Untuk mewadahi partisipasi tersebut, OECD kemudian membentuk forum Inclusive Framework.

Negara yang ingin berpartisipasi di dalam Inclusive Framework diharuskan untuk berkomitmen melaksanakan aksi BEPS secara komprehensif, konsisten dan membayar iuran anggota.

Negara yang berpartisipasi di dalam Inclusive Framework berhak untuk duduk di dalam badan pengambilan keputusan dengan posisi yang setara (equal footing). Partisipasi ini memberikan kesempatan untuk ikut membuat keputusan yang dapat berdampak kepada negaranya.

OECD pada dasarnya merupakan organisasi yang eksklusif dan bertindak untuk kepentingan negara-negara anggotanya. Dengan demikian, proses pengambilan keputusan yang melibatkan negara nonanggota OECD merupakan hal yang tidak biasa dilakukan (Christians dan Apeldoorn, 2018).

OECD biasanya memberikan tempat bagi negara nonanggota sebagai pemerhati (observer) di dalam proses pengambilan keputusan. Akan tetapi, melalui forum Inclusive Framework ini, negara nonanggota diberi tempat (inklusif) dengan equal footing.

Pertanyaan kemudian, apakah yang dimaksud dengan equal footing tersebut dan bagaimana legitimasi terhadap putusan Inclusive Framework ini?

Equal Footing

Caney, sebagaimana yang dikutip oleh Christians dan Apeldoorn, mengungkapkan bahwa inklusif dengan equal footing memiliki dua tujuan normatif yaitu, instrumental dan prosedural (Christians dan Apeldoorn, 2018).

Tujuan instrumental berarti partisipasi dengan posisi yang setara akan membuat seluruh pihak, khususnya negara berkembang yang memiliki keterbatasan kemampuan, dapat secara efektif mengajukan kepentingan negaranya di dalam proses negoisasi.

Lebih lanjut, tujuan prosedural berarti kondisi atas pengakuan terhadap kemandirian suatu negara untuk dapat menentukan kebijakannya sendiri. Dengan demikian, kondisi ini dapat berkontribusi pada keadilan dan legitimasi pengambilan keputusan.

Mendefinisikan equal footing di dalam Inclusive Framework berarti harus memperhatikan dua tujuan di atas. Mencermati keadaan dari negara berkembang yang memiliki banyak keterbatasan, khususnya terhadap sumber daya (resources) menjadi kunci permasalahan di dalam Inclusive Framework (Christians dan Apeldoorn, 2018).

Terdapat perbedaan besar kepemilikan sumber daya antara negara anggota OECD dengan negara nonanggota OECD. Sumber daya yang dimaksud di sini adalah ketersediaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan logistik hingga pada ketersediaan sumber daya manusia.

Negara OECD yang memiliki anggaran dan sumber daya manusia yang cukup, dapat ikut secara aktif di dalam forum-forum pembahasan yang diselenggarakan. Namun, tidak demikian halnya dengan negara berkembang.

Negara berkembang mungkin hanya dapat mengikuti beberapa forum dari serangkaian forum yang ada, itupun dengan jumlah personel yang terbatas. Oleh karenanya, Christian dan Apeldoorn (2018) khawatir bahwa keterlibatan negara nonanggota OECD untuk diberi tempat dengan equal footing belum dapat dicapai.

Legitimasi

Permasalahan lain yang juga disorot oleh ahli perpajakan adalah keabsahan (legitimasi) dari putusan yang nanti dihasilkan Inclusive Framework. Valderrama (2018) menyebutkan bahwa legitimasi memiliki dua bagian. Pertama, bagian proses pengambilan keputusan atau disebut dengan input legitimation. Kedua, proses hasil pengambilan keputusan atau disebut output legitimation.

Proses input legitimation didasari pada pertimbangan terhadap partisipasi, tranparansi, dan representasi dari negara-negara nonanggota OECD, khususnya negara berkembang dalam membuat agenda dan konten sebuah konsensus.

Selanjutnya, proses output legitimation didasari pada proses pencarian konsensus antara negara anggota dan nonanggota OECD. Termasuk dalam hal ini adalah mekanisme untuk merealisasikan konsensus tersebut.

Menurut Valderrama (2018), Inclusive Framework masih terdapat beberapa kekurangan dari sisi input legitimation dan output legitimation. Kekurangan input legitimation disebabkan karena Inclusive Framework belum dapat merubah agenda dan konten dari aksi BEPS.

Aksi BEPS sebelumnya diputus oleh 44 negara yang terdiri dari negara OECD dan G-20 serta beberapa negara lainnya. Valderrama menganggap belum ada keterwakilan yang cukup dari negara berkembang.

Kekurangan dari sisi output legitimation dapat dijelaskan dari beberapa implementasi aksi BEPS. Salah satunya adalah Aksi 6 yang mensyaratkan penggunaan standar minimum klausul Principle Purpose Test (PPT). Berita terkait PPT dapat juga dilihat di sini.

Klausul PPT dapat diterapkan jika suatu negara memiliki jaringan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang luas. Untuk itu, tidak mengherankan banyak negara OECD yang menerapkan klausul ini.

Tidak demikian kondisinya dengan negara berkembang yang tidak memiliki jaringan P3B yang luas. Selain itu, penggunaan klausul ini juga akan membatasi posisi negara berkembang dalam negoisasi P3B.

Kendati demikian, keberadaan Inclusive Framework tetap diperlukan. Negara nonanggota OECD, khususnya negara berkembang, dapat berkesempatan untuk menyuarakan kepentingannya di dalam proses pengambilan keputusan.

Negara berkembang dapat memanfaatkan bantuan teknis dan pengembangan kapasitas yang disediakan OECD untuk menutup perbedaan sumber daya dengan negara OECD. Diharapkan lebih banyak lagi negara yang dapat berpartisipasi di dalam aksi BEPS dan Inclusive Framework.

Bedlinger (2018) mengungkapkan bahwa semakin banyaknya negara yang tergabung di dalam Inclusive Framework akan mendorong efektifitas tujuan dari aksi BEPS itu sendiri  Selain itu, legitimasi atas konsensus yang dihasilkan pun semakin kuat.

Salah satu contoh keberhasilan Inclusive Framework saat ini adalah dengan telah diterbitkannya pernyataan bersama terkait pemajakan digital.

Pernyataan tersebut menegaskan kembali dukungan untuk mencapai konsensus dengan mengesahkan pilar pertama sehubungan dengan revisi ketentuan nexus dan alokasi laba. Selain itu, Inclusive Framework memberi komitment untuk mencari konsensus atas pilar kedua terkait mekanisme anti penggerusan basis pemajakan (OECD, 2019).

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 10 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN ANTIPENGHINDARAN PAJAK

DJP: Indonesia Sudah Terapkan 12 dari 15 Rencana Aksi BEPS

Jumat, 04 Oktober 2024 | 09:17 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemerintah Kaji Bentuk Insentif Pajak yang Sejalan dengan Pilar 2

Selasa, 24 September 2024 | 15:15 WIB KULIAH UMUM DDTC-PERBANAS

Ada Banyak Inisiatif Multilateral Perangi Profit Shifting, Efektifkah?

Senin, 23 September 2024 | 17:43 WIB ANALISIS PAJAK

Paradoks Artificial Intelligence dalam Konteks Penghindaran Pajak

BERITA PILIHAN