Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI) Darussalam saat membuka Lokakarya Inklusi Pajak dan Rapat Kerja ATPETSI di Menara DDTC, Kamis (8/8/2019).
JAKARTA, DDTCNews – Lanskap parpajakan global bergerak dinamis dalam beberapa tahun terakhir. Dunia akademisi dinilai harus mampu mengikuti perkembangan tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan kampus.
Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI) Darussalam mengatakan paradigma hubungan antara otoritas dan wajib pajak akan berubah drastis. Perubahan yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi itu idealnya mendapat atensi khusus dari pengajar di level perguruan tinggi.
“Kegiatan hari ini ditujukan khusus bagi asosiasi dan peran dosen untuk menjadi motivator dan inspirator di dunia kampus untuk hadapi lingkungan pajak yang akan berubah tidak lama lagi,” katanya dalam Lokakarya Inklusi Pajak dan Rapat Kerja ATPETSI di Menara DDTC, Kamis (8/8/2019).
Darussalam mengatakan perubahan lingkungan pajak global terdiri atas empat pokok fundamental yang berkaitan erat dengan dimulainya era keterbukaan informasi keuangan. Keempat aspek ini harus menjadi fokus perhatian sebagai bagian dari upaya memperkuat inklusi pajak.
Pertama, perubahan paradigma dari konfrontatif menjadi kolaboratif. Perubahan ini, menurutnya, akan menuntut otoritas memberikan kepastian hukum sebagai timbal balik atas transparasi yang dilakukan oleh wajib pajak.
Kedua, perubahan paradigma dari reaktif menjadi proaktif. Dengan terbukanya akses data dan informasi maka otoritas pajak akan bisa lebih mengedepankan langkah pencegahan atas gejala ketidakpatuhan wajib pajak.
Ketiga, perubahan dalam sistem pajak dengan adanya intervensi teknologi. Beberapa negara seperti Inggris, Russia, dan Denmark sudah melakukan perubahan sistem pajak dengan bantuan teknologi informasi.
“Inggris misalnya, sudah ada digital tax account yang fungsinya menggantikan SPT. Kemudian, Denmark di mana semua penjual software akuntansi dalam sistemnya sudah terhubung dengan sistem informasi otoritas pajak,” papar Managing Partner DDTC ini.
Keempat, pembentukan norma-norma sosial terhadap perilaku, baik itu kepatuhan maupun ketidakpatuhan wajib pajak. Perubahan keempat ini, sambung dia, merupakan bagian yang paling penting dalam kegiatan inklusi pajak dalam struktur masyarakat.
Pembentukan norma ini menjadi krusial karena menjadi pondasi atas kepatuhan sukarela wajib pajak. Setiap gejala dan praktik ketidakpatuhan pajak seharusnya tidak mendapat tempat dalam lingkungan masyarakat. Norma tersebut bisa mulai diinisiasi dari kalangan akademisi kepada peserta didik.
“Yang paling penting dari laporan OECD itu bagaimana ke depannya membentuk norma sosial terhadap perilaku baik patuh dan juga tidak patuh. Menjadi peran kita bagaimana membenamkan sanksi untuk mereka yang tidak patuh agar mempunyai rasa malu. Ini peran dari inklusi pajak," imbuhnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.