JAKARTA, DDTCNews - Regime transfer pricing merupakan hasil dari hukum domestik. Dengan demikian, setiap negara memerlukan formulasi peraturan domestik yang lebih terperinci dalam mengimplementasikan ketentuan transfer pricing.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang paling awal memiliki ketentuan terkait dengan transfer pricing. Secara umum, ketentuan transfer pricing di Indonesia telah mengadopsi penerapan arm’s length principle dalam OECD Guidelines.
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, ketentuan transfer pricing mulai diatur sejak UU 7/1983. Dalam undang-undang ini, diatur ketentuan mengenai definisi hubungan istimewa.
Pada 1993, Dirjen Pajak menerbitkan KEP-01/PJ.7/1993 dan SE-04/PJ.7/1993. Namun, ketentuan ini tidak menyediakan pedoman atau panduan yang jelas bagi wajib pajak dalam menerapkan prinsip kewajaran dalam transaksi hubungan istimewa yang mereka lakukan maupun apa yang harus dilakukan sehingga terhindar dari potensi koreksi transfer pricing.
UU No.7/1983 mengalami perubahan pada tahun 1994, yaitu dengan diterbitkannya UU 10/1994. Dalam undang-undang ini, secara eksplisit dinyatakan kewenangan otoritas pajak untuk melakukan koreksi harus mengacu pada prinsip kewajaran.
Pada 2000, dengan diterbitkannya UU 17/2000, ketentuan transfer pricing dimodifikasi dengan menambahkan ketentuan tentang APA.
Pada 2007, melalui PP 80/2007, wajib pajak diberikan tambahan beban untuk mendokumentasikan penerapan prinsip kewajaran atas transaksi hubungan istimewa yang mereka lakukan, meskipun langkah-langkah penerapan prinsip kewajaran itu sendiri belum diterbitkan.
Ketentuan transfer pricing kemudian diubah seiring dengan diterbitkannya UU 36/2008. Dalam undang-undang ini, secara eksplisit ditentukan metode-metode apa saja yang digunakan dalam menerapkan prinsip kewajaran pada suatu transaksi hubungan istimewa.
Pada 2010, panduan bagi wajib pajak dan otoritas pajak dalam penerapan prinsip kewajaran dalam transaksi hubungan istimewa diterbitkan melalui PER-43/2010. Ketentuan ini kemudian mengalami perubahan melalui PER-32/2011.
Pada 2013, Dirjen Pajak menerbitkan PER-22/2013. Peraturan tersebut memberikan pedoman terkait dengan tahapan dalam pemeriksaan transfer pricing, metode yang dipakai dalam pemeriksaan dan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi-transaksi khusus, seperti jasa intragrup, aset tak berwujud, dan pembayaran bunga.
Pada tahun yang sama, Dirjen Pajak juga menerbitkan SE-50/PJ/2013 yang memberikan petunjuk teknis pemeriksaan transfer pricing. Surat edaran ini merevisi Surat Edaran No. SE-04/PJ.7/1993 yang telah diterbitkan sebelumnya.
Dalam perkembangannya, sebagai respons atas Proyek Anti-BEPS Rencana Aksi 13, pemerintah menerbitkan PMK 213/2016.
Berdasarkan PMK 213/2016, dokumentasi transfer pricing mencakup dokumen lokal, dokumen induk, dan laporan per negara atau Country-by-Country Report (CbCR). Tata cara pengelolaan laporan per negara kemudian diatur lebih lanjut melalui PER-29/2017.
Pada 2020, Menteri Keuangan menerbitkan PMK 22/2020 yang mencabut PMK APA sebelumnya, PMK 7/2015. Selain itu, PMK 22/2020 juga memuat penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Jika ingin mengetahui lebih lanjut mengenai perkembangan perpajakan internasional dan transfer pricing, Anda dapat membaca buku DDTC berikut.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.