Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam acara d'Mentor.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu berhati-hati dalam mendesain kebijakan pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengungkapkan setiap penyusunan kebijakan cukai selalu diwarnai dengan tarik-menarik kepentingan dari beberapa aspek sekaligus. Oleh karena itu, partisipasi publik juga perlu diserap agar kebijakan cukai MBDK tidak sampai menimbulkan gejolak.
"Pemerintah perlu duduk bersama publik untuk membikin desain [kebijakan cukai MBDK] yang paling ideal, melihat trilemanya ada penerimaan, kesehatan, dan industri," katanya dalam acara d'Mentor, Kamis (5/10/2023).
Mengacu pada best practices di berbagai yurisdiksi, Bawono mengatakan, cukai MBDK sejauh ini telah diterapkan di sekitar 50 negara. Latar belakang penerapannya, relatif merujuk pada aspek kesehatan. Konsumsi MBDK dinilai menjadi penyebab tingginya prevalensi diabetes dan obesitas.
Kemudian, cukai MBDK juga memuat kepentingan dari sisi penerimaan negara. Selain itu, ada kepentingan dari sisi keberlangsungan industri yang juga perlu diperhatikan.
Dia memandang pengenaan cukai MBDK harus memenuhi prinsip keadilan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai desain kebijakan cukai MBDK pun harus melibatkan semua pemangku kepentingan.
Terlebih mengenai formulasi penggolongan tarif, kehati-hatian mutlak diperlukan untuk memastikan tujuan pengendalian konsumsi dan penerimaan negara tercapai. Belajar dari cukai hasil tembakau, pengelompokan yang berlapis dan tarif yang variatif justru menimbulkan downtrading.
Menurut Bawono, MBDK memiliki karakteristik yang berbeda dengan objek cukai hasil tembakau dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA) yang bersifat adiktif. Dengan kondisi tersebut, elastisitas cukai MBDK diperkirakan bakal lebih besar.
"Dalam upaya meningkatkan kepastian, sedari awal kalau ada kebijakan, partisipasi publik itu sangat perlu. Jangan sampai sudah ada kebijakan, nanti ada penolakan," ujarnya.
Mengingat wacana cukai MBDK yang mengendap selama bertahun-tahun, Bawono berharap pemerintah segera membicarakannya dengan DPR sebagai representasi masyarakat. Sebagaimana diatur dalam UU Cukai s.t.d.d. UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penambahan atau pengurangan objek cukai perlu dibahas dan disetujui DPR.
Sebagai informasi, pemerintah berencana mengenakan cukai MBDK pada 2024. Namun, sebenarnya wacana pengenaan cukai MBDK telah disampaikan pemerintah kepada DPR sejak awal 2020.
Pemerintah dan DPR kemudian mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun. Melalui Perpres 98/2022, target itu kemudian direvisi menjadi Rp1,19 triliun.
Adapun untuk 2023, target penerimaannya ditetapkan senilai Rp3,08 triliun atau naik 158,82% dari target tahun lalu senilai Rp1,19 triliun. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.