KEBIJAKAN PAJAK

Pengecualian PPN Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Ini Saran World Bank

Muhamad Wildan | Selasa, 23 Juni 2020 | 13:47 WIB
Pengecualian PPN Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Ini Saran World Bank

Tampilan depan publikasi World Bank yang berjudul “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”. 

JAKARTA, DDTCNews – World Bank memberi rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk mengurangi beberapa pengecualian (exemptions) pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Pasalnya, pengecualian yang diberikan sejauh ini kurang tepat sasaran.

World Bank mengungkapkan belanja perpajakan (tax expenditure) akibat pengecualian dari pengenaan PPN atas komoditas tertentu dan tingginya threshold pengusaha kena pajak (PKP) lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas ketimbang masyarakat kelas bawah.

“Sebagian besar pengecualian pajak ini dinikmati oleh rumah tangga yang lebih kaya dan jika dihapuskan akan mengurangi ketimpangan,” demikian tulis World Bank dalam publikasi berjudul “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”, dikutip pada Selasa (23/6/2020).

Baca Juga:
Coretax Berlaku 2025, DJP Online Tetap Bisa Digunakan Sementara

Adapun tambahan penerimaan pajak yang didapat dari penghapusan pengecualian dari pengenaan PPN tersebut, menurut World Bank, dapat digunakan sebagian untuk mengurangi dampak pada 40% masyarakat miskin melalui transfer tunai (targeted cash transfers).

World Bank mencatat pengecualian dari pengenaan PPN yang diberikan oleh pemerintah memiliki dampak yang cenderung regresif. Mirip dengan subsidi pada harga, pengecualian ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang lebih kaya.

Sebagai bagian dari pendapatan rumah tangga, sambung World Bank, pengecualian cenderung lebih penting bagi masyarakat miskin. Namun, penghapusan pengecualian PPN nantinya akan menghasilkan tambahan penerimaan negara yang signifikan.

Baca Juga:
DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

Biaya fiskal untuk mengimbangi dampak penghapusan pengecualian PPN pada 40% terbawah adalah sekitar 0,2% PDB. Dengan menggunakan rata-rata sederhana, penghapusan pengecualian PPN akan memberi keuntungan fiskal 0,4% PDB. Artinya, ada laba fiskal (untuk negara) sebesar 0,2% PDB.

Pasalnya, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan PPN di Indonesia pada saat ini mencapai 0,67% dari PDB. Apabila pemerintah menghapuskan pengecualian atas komoditas tertentu ini, World Bank memperkirakan ada tambahan penerimaan pada kas negara hingga 0,24%-0,67% PDB.

Merujuk pada Laporan Belanja Perpajakan 2018 yang dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), belanja pajak dari jenis pajak PPN memang terus meningkat dari tahun ke tahun. BKF mencatat belanja pajak PPN pada 2018 mencapai Rp145,61 triliun, lebih tinggi dari 2017 yang mencapai Rp132,84 triliun dan 2016 yang mencapai Rp116,32 triliun.

Baca Juga:
Ada Kenaikan Tarif PPN, DJP Tetap Optimalkan Penerimaan Tahun Depan

PPN yang tidak jadi dipungut oleh pemerintah akibat threshold PKP sebesar Rp4,8 miliar diestimasikan mencapai Rp44,25 triliun pada 2018 lalu. PPN yang tidak terutang atas kebutuhan pokok dan tidak masuk ke kas negara diestimasikan mencapai Rp22,07 triliun.

Selain penghapusan pengecualian pengenaan pajak beberapa komoditas tertentu, terkait dengan PPN, World Bank juga menyarankan agar pemerintah menurunkan ambang batas PKP yang memungut PPN dari Rp4,8 miliar pada saat ini.

Selain itu, pemerintah bisa menjadikan pendaftaran sebagai PKP bersifat opsional untuk bisnis yang berada di bawah ambang batas dan telah memenuhi persyaratan minimum pembukuan. Kemudian, menurunkan threshold UMKM agar sejalan dengan batas PKP. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Berlaku 2025, DJP Online Tetap Bisa Digunakan Sementara

Senin, 23 Desember 2024 | 18:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

Senin, 23 Desember 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada Kenaikan Tarif PPN, DJP Tetap Optimalkan Penerimaan Tahun Depan

Senin, 23 Desember 2024 | 15:45 WIB STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Pelayanan Kesehatan Medis Bebas PPN Indonesia, Bagaimana di Asean?

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 10:00 WIB PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Antisipasi Dampak Opsen, Pemprov Kalbar Beri Keringanan Pajak

Selasa, 24 Desember 2024 | 09:30 WIB LAYANAN PAJAK

Butuh Layanan Pajak? Cek Lagi Jadwal Libur Natal dan Tahun Baru KPP

Selasa, 24 Desember 2024 | 09:12 WIB LITERATUR PAJAK

Gratis! Download 10 Buku Pajak yang Diterbitkan DDTC

Selasa, 24 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Berlaku 2025, DJP Online Tetap Bisa Digunakan Sementara

Senin, 23 Desember 2024 | 18:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

Senin, 23 Desember 2024 | 18:00 WIB PMK 101/2024

PMK Baru, Menkeu Bisa Nilai Kesesuaian KUA-PPAS Pemda dengan KEM PPKF

Senin, 23 Desember 2024 | 17:30 WIB KABUPATEN SIDOARJO

Veteran dan Pensiunan Dapat Insentif, Setoran PBB Tetap Capai Target

Senin, 23 Desember 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada Kenaikan Tarif PPN, DJP Tetap Optimalkan Penerimaan Tahun Depan

Senin, 23 Desember 2024 | 16:30 WIB CORETAX SYSTEM

Akses Aplikasi Coretax, Wajib Pajak Perlu Ganti Password Dahulu

Senin, 23 Desember 2024 | 15:45 WIB STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Pelayanan Kesehatan Medis Bebas PPN Indonesia, Bagaimana di Asean?