Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak kaya atau high wealth individual (HWI) menjadi salah satu prioritas pengawasan yang dijalankan Ditjen Pajak (DJP). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (4/7/2023).
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan DJP telah membentuk komite kepatuhan. Dengan adanya komite kepatuhan tersebut, otoritas berharap pengawasan bisa lebih diperkuat dan terarah. Kemudian, perlakuan (treatment) terhadap wajib pajak diharapkan bisa tepat.
“Kami membentuk task force untuk pengawasan wajib pajak-wajib pajak grup dan HWI yang biasanya bagian dari grup. Ini yang kami coba dudukkan dalam program kerja komite kepatuhan,” ujar Suryo.
Dengan implementasi compliance risk management (CRM), DJP mengoptimalkan peran komite kepatuhan untuk menentukan daftar wajib pajak dan tindak lanjutnya. Tindak lanjut itu di antaranya pelayanan, penyuluhan, pengawasan, pemeriksaan, atau penegakan hukum.
Dalam laporan 2023 Article IV Consultation, International Monetary Fund (IMF) juga menganggap perlu adanya upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak HWI. Hal tersebut diletakkan dalam konteks keberlanjutan reformasi perpajakan.
Otoritas, masih dalam laporan tersebut, berharap integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Peluncuran sistem inti administrasi perpajakan yang baru juga diharapkan bisa memperkuat audit berbasis risiko.
Selain prioritas pengawasan terhadap wajib pajak HWI, ada pula ulasan terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang penerimaan pajak. Kemudian, ada bahasan mengenai bea keluar CPO.
Director DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan upaya untuk memberikan perhatian lebih terhadap kepatuhan pajak HWI sudah tepat. Menurutnya, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi upaya tersebut.
Pertama, tren global optimalisasi kepatuhan dan penerimaan pajak orang kaya. Hal ini dapat dilihat dari tren pembentukan unit pajak khusus kelompok HWI, pengenaan pajak kekayaan demi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, hingga koordinasi global melawan offshore tax evasion yang mayoritas dilakukan HWI.
Kedua, perbedaan karakteristik HWI dengan wajib pajak orang pribadi lainnya. HWI umumnya memiliki penghasilan dari berbagai sumber dengan struktur bisnis yang kompleks, investasi di berbagai negara –termasuk tax haven—, akses terhadap kekuatan sosial-politik, kemampuan melakukan aggressive tax planning, dan sebagainya.
Ketiga, perhatian pada HWI akan menjamin adilnya sistem pajak sekaligus mengurangi ketimpangan. Apalagi, Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan HWI dan UHWI yang pesat. Namun, ada ketimpangan aset yang melebar serta pola akumulasi kekayaan antargenerasi.
Keempat, indikasi tentang kontribusi yang belum maksimal bisa dilihat dari penerimaan PPh Pasal 25/29 orang pribadi (nonkaryawan). Penerimaan pajak tersebut secara rata-rata hanya berkontribusi 1% dari total penerimaan pajak. (Tempo/DDTCNews)
Director DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji menyoroti perlunya kehati-hatian saat mengelompokkan HWI dalam konteks pengelolaan administrasi pajak. Logikanya, kenaikan penghasilan akan berdampak pada peningkatan kekayaan. Namun, keduanya bisa jadi tidak sinkron. Misal, kekayaan keluarga yang diwariskan.
Menurut Bawono, tantangan melakukan kategorisasi kelompok HWI juga besar di tengah banyaknya praktik untuk mengaburkan kepemilikan (pemilik manfaat langsung) dari suatu aset. Dari praktik internasional, umumnya otoritas pajak di berbagai negara mengkategorikan HWI dengan melihat salah satu atau beberapa indikator seperti penghasilan, aset, jabatan, dan/atau kepemilikan/pengendalian atas perusahaan besar. (Tempo/DDTCNews)
Director DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan dari sisi penerimaan, ada potensi yang masih cukup besar dari HWI. Namun, penerimaannya tidak akan tumbuh secara pesat, tetapi bersifat gradual.
Penerimaan pajak kelompok HWI, sambungnya, baru akan meningkat seiring dengan keberhasilan integrasi NIK-NPWP, implementasi kewajiban beneficial owner, dan implementasi CRM dengan dukungan coretax system.
“Dari sisi kebijakan, penerimaan dari kelompok HWI dapat ditopang oleh adanya tarif PPh baru tertinggi, pengenaan pajak natura, serta upaya meninjau kembali PPh final untuk penghasilan pasif,” ujar Bawono. (Tempo/DDTCNews)
Presiden Jokowi meminta para menterinya mewaspadai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan negara, termasuk pajak. Jokowi mengatakan data pertumbuhan penerimaan pajak mulai mengalami perlambatan apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Menurutnya, semua faktor risiko perlu dikelola dengan baik agar tidak menekan penerimaan pajak. Jokowi mengatakan para menteri perlu membuat proyeksi baik mengenai kinerja penerimaan negara pada tahun ini.
"Kalau kita lihat penerimaan pajak tidak setinggi tahun lalu. Penerimaan kepabeanan dan PNBP juga terpengaruh karena harga komoditas yang tidak setinggi tahun lalu," katanya dalam sidang kabinet paripurna, Senin (3/7/2023). (DDTCNews)
World Bank kembali menempatkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middle income country). Sebelumnya, Indonesia berada pada kategori negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower-middle income country).
Presiden Jokowi mengatakan pandemi Covid-19 sempat menyebabkan Indonesia turun kelas menjadi lower-middle income country. Sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional, kini World Bank kembali memasukkan Indonesia ke dalam grup upper-middle income countries.
Saat ini, World Bank memiliki 4 kategori negara berdasarkan GNI per kapita, yakni lower income dengan pendapatan kurang dari US$1.135, lower-middle income US$1.136-US$4.465, upper-middle income US$4.466-US$13.845, dan high income lebih dari US$13.845.
World Bank dalam publikasinya menyebut Indonesia termasuk negara yang memiliki GNI sangat dekat dengan ambang batas upper-middle income pada 2021. Dengan kondisi ini, pertumbuhan PDB yang modest pada 2022 sudah cukup untuk membawa perekonomian tersebut ke dalam kategori upper-middle income. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Kementerian Perdagangan menaikkan tarif bea keluar yang dikenakan atas ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menjadi US$18 per metric ton (MT) dari 2 pekan sebelumnya senilai US$3 per MT.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso mengatakan harga referensi minyak kelapa sawit pada periode 1-15 Juli 2023 senilai US$747,23 per metric ton atau menguat 3,29% dari periode 16-30 Juni 2023.
"Merujuk pada PMK yang berlaku saat ini maka pemerintah mengenakan bea keluar CPO sebesar US$18 per MT dan pungutan ekspor CPO sebesar US$75 per MT untuk periode 1-15 Juli 2023," katanya. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.