Founder DDTC Darussalam saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak yang digelar oleh STHI Jentera, Rabu (7/6/2023).
JAKARTA, DDTCNews - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023 dinilai perlu ditindaklanjuti dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar dari wajib pajak, terutama akses terhadap keadilan.
Saat ini, wajib pajak yang tengah berperkara di Pengadilan Pajak dibayangi adanya kewajiban untuk membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 60% jika banding yang diajukan di Pengadilan Pajak ternyata ditolak.
"Di banyak negara ada yang namanya piagam dasar hak wajib pajak. Salah satu yang dikedepankan adalah wajib pajak harus dipermudah untuk mencari akses keadilan melalui pengadilan," kata Founder DDTC Darussalam, Rabu (7/6/2023).
Dalam seminar bertajuk Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak yang digelar oleh STHI Jentera, Darussalam menuturkan wajib pajak seharusnya dapat mencari keadilan di Pengadilan Pajak dengan murah.
"Seharusnya sanksi itu hanya sebesar time value of money saja. Sebesar berapa, itu yang dikenakan," ujarnya.
Dahulu, Indonesia pernah mengharuskan wajib pajak untuk membayar sebesar 50% dari pajak yang terutang sebagai syarat formal dari pengajuan banding ke Pengadilan Pajak. Hal tersebut diatur dalam Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak.
"Selain dari persyaratan dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta pasal 35, dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%," bunyi pasal 36 tersebut.
Darussalam menjelaskan saat ini baru ada 2 negara yang mensyaratkan pembayaran pajak sebelum diajukannya banding, yaitu Irlandia dan Slovenia. Simak Merindukan Peran Utama Pengadilan Pajak
"Bagi negara yang menetapkan harus membayar, akhirnya boleh tak membayar karena bisa ditunda," tuturnya.
Melalui UU 28/2007, wajib pajak kemudian diperkenankan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak tanpa harus membayar jumlah pajak diajukan banding. Walau demikian, wajib pajak berisiko dikenai sanksi sebesar 100% jika bandingnya ditolak.
Dalam perkembangannya, sanksi yang dikenakan tersebut diturunkan dari 100% menjadi 60% sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Untuk diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 26/PUU-XXI/2023 memerintahkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak harus dialihkan ke Mahkamah Agung (MA) paling lambat pada 31 Desember 2026.
Berdasarkan putusan tersebut, MK menyatakan frasa Departemen Keuangan pada Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi MA yang secara bertahap dilaksanakan paling lambat 31 Desember 2026.
Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak selengkapnya berbunyi Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026.
"Secara bertahap, para stakeholder segera mempersiapkan regulasi berkaitan dengan segala kebutuhan hukum, termasuk hukum acara guna peningkatan profesionalitas SDM Pengadilan Pajak, serta mempersiapkan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengintegrasian kewenangan di bawah MA," bunyi Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.