Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Sistem perpajakan di Indonesia terus berkembang seiring dengan berbagai perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Namun, perkembangan tersebut dinilai belum diikuti dengan perkembangan lembaga peradilan pajak.
Sejak didirikan pada 2002, Pengadilan Pajak belum mengalami perkembangan yang signifikan untuk mengikuti lanskap perpajakan yang kian kompleks dan dinamis. Berbagai isu mendasar masih perlu dipetakan sehingga lembaga peradilan pajak bisa menjadi lebih baik lagi.
Salah satu isu tersebut ialah keberadaan Pengadilan Pajak yang sering dikaitkan dengan penerimaan negara. Tidak dapat dipungkiri, pajak memang merupakan 'alat' terbaik untuk membangun dan menjamin berjalannya suatu pemerintahan atas hak-hak wajib pajak (Blankson, 2007).
Akan tetapi, dalam menjalankan tugasnya sebagai pemungut pajak, tidak ada satupun otoritas pajak yang berada di atas hukum dan peraturan perundang-undangan.
Justru, untuk membangun peradaban tersebut, Pengadilan Pajak harus memandang otoritas pajak dan wajib pajak secara setara di hadapan hukum (equality before the law).
Persepsi atas kesetaraan tersebut dibangun dan dibentuk sesuai dengan tujuan didirikannya Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Pengadilan Pajak, yaitu tempat wajib pajak mencari keadilan.
Fokus dari Pengadilan Pajak adalah memastikan terbukanya akses kepada keadilan (access to justice) dan menyelenggarakan peradilan yang adil (fair trial) bagi wajib pajak.
Pembahasan selengkapnya mengenai isu di atas dapat ditemukan dalam buku yang akan segera diluncurkan oleh DDTC dengan judul Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia: Persoalan, Tantangan, dan Tinjauan di Beberapa Negara. Penulis buku ini adalah Founder DDTC Darussalam dan Danny Septriadi, serta Assistant Manager di DDTC Consulting Yurike Yuki.
Isu menarik lainnya yang juga dibahas dalam buku ini adalah pentingnya pengakuan atas hak-hak wajib pajak, terutama dalam ruang persidangan. Sebab, sistem pajak yang semakin kompleks dan lanskap perpajakan yang terus berubah mengakibatkan kewajiban yang dipikul oleh wajib pajak kian bertambah.
Namun demikian, meningkatnya tuntutan akan kewajiban wajib pajak belum diiringi sepenuhnya dengan meningkatnya pengakuan atas hak-hak wajib pajak. Kondisi ini pada gilirannya berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2001 menyebut terdapat hubungan positif antara kesadaran wajib pajak akan hak-haknya dan kepatuhan pajak. Makin tinggi kesadaran wajib pajak akan hak-haknya maka makin tinggi pula tingkat kepatuhan pajak secara sukarela.
Untuk melindungi hak-hak wajib pajak, diperlukan keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa pajak yang imparsial, mudah diakses, dan efisien (Koos, 2014).
Menurut International Charter of Taxpayers’ Rights, right to a fair trial (hak atas proses hukum yang adil) setidaknya terdiri dari beberapa kriteria, antara lain right to be heard (hak untuk didengar), right to defence (hak untuk membela diri), equality of arms (hak untuk diperlakukan secara adil), dan right to obtain justice within a reasonable delay (hak untuk memperoleh keadilan dalam jangka waktu yang wajar).
Tertarik membaca buku ini? Anda dapat melakukan prapesan atau preorder buku itu dengan mengisi formulir berikut https://bit.ly/PesanBukuDDTC.
Buku ini dapat dibeli mulai 28 Februari 2023. Pada tanggal yang sama, DDTC akan menggelar acara peluncuran buku yang dikemas dalam bentuk talk show bertajuk Lebih Dekat dengan Pajak Lewat Buku.
Acara dilaksanakan secara hybrid, yaitu luring di Menara DDTC (khusus tamu undangan) dan daring untuk umum dengan menggunakan platform Zoom pada pukul 09.00 – 11.00 WIB.
Peserta dapat mendaftar melalui tautan berikut https://academy.ddtc.co.id/free_event. Adapun talk show tidak dipungut biaya alias gratis.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.