Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengidentifikasi 6 faktor di luar dinamika ekonomi makro yang berisiko menyulitkan upaya pencapaian target penerimaan pajak tahun depan.
Hal ini dijabarkan dalam Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan APBN Tahun Anggaran 2021. Dari sisi ekonomi makro, faktor yang berpengaruh pada penerimaan pajak adalah sektor komoditas, aktivitas ekonomi domestik khususnya konsumsi, perdagangan internasional, dan digitalisasi ekonomi.
Di luar itu, ada 6 faktor yang berpengaruh. Pertama, kebutuhan insentif perpajakan yang cukup besar. Pasalnya, perlambatan ekonomi pada 2020 karena pandemic Covid-19 berdampak pada wajib pajak (WP), baik badan maupun orang pribadi.
“Untuk memulihkan kondisi keuangan WP dimaksud sampai kepada kondisi sebelum pandemi Covid-19, pemerintah memandang untuk perlu memberikan insentif perpajakan,” tulis pemerintah dalam dokumen tersebut, dikutip pada Selasa (8/9/2020).
Kedua, dinamika sistem pajak dalam periode reformasi pajak. Pemerintah mengungkapkan terdapat agenda perubahan peraturan, baik dalam bentuk omnibus law, reformasi perpajakan, maupun berbagai paket stimulus.
Perubahan peraturan umumnya membutuhkan waktu agar dipahami WP. Dalam hal terjadi perbedaan pemahaman terhadap penerapan peraturan, ada potensi peningkatan sengketa pajak. Untuk itu, pemerintah perlu membangun mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif.
Ketiga, kepatuhan WP yang masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurut pemerintah, performa tersebut mengindikasikan masih terjadinya gap kebijakan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pemungutan perpajakan nasional.
Untuk memperbaiki tingkat kepatuhan WP, dilakukan perbaikan sistem administrasi dan penguatan database perpajakan yang berpengaruh signifikan bagi pengawasan dan penegakan kepatuhan WP. Penerapan SPT elektronik, e-Faktur, serta pelayanan mobile tax unit telah memberikan jangkauan pelayanan pajak yang lebih luas dan mudah sehingga berpengaruh positif bagi kepatuhan WP.
“Kedepannya, pemerintah akan melakukan optimalisasi penerimaan perpajakan dengan meningkatkan kepatuhan sukarela WP melalui edukasi yang efektif dan peningkatan pelayanan, termasuk terhadap golongan high net worth individual,” jelas pemerintah.
Keempat, shadow economy yang cukup tinggi. Perkembangan digital ekonomi, baik secara global maupun nasional, menjadi sumber risiko pendapatan negara. Dari sudut pandang perpajakan, sambung pemerintah digitalisasi ekonomi dapat digolongkan shadow economy atau sektor yang sulit dipajaki (hard-to-tax sectors).
Kelima, struktur penerimaan pajak masih didominasi PPh badan. Hal ini berdampak pada kerentanan terhadap penerimaan pajak khususnya dalam kondisi keuangan korporasi berpotensi mengalami tekanan berat. Simak artikel ‘Pemerintah Akui Dominasi PPh Korporasi Bikin Penerimaan Pajak Rentan’.
Keenam, tax buoyancy tidak stabil. Menurut pemerintah, idealnya, pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan perpajakan memiliki hubungan yang kuat. Korelasi tersebut ditunjukkan melalui indikator tax buoyancy. Bila nominal pertumbuhan ekonomi sama dengan nominal pertumbuhan pajak maka tax buoyancy-nya sebesar 1.
Berdasarkan data historis, lanjut pemerintah, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum diikuti oleh penerimaan perpajakan yang setara (tax buoyancy kurang dari 1). Menurut pemerintah, kondisi tersebut berkaitan erat dengan relatif tingginya shadow economy dan belum maksimalnya tingkat kepatuhan WP.
Dalam RAPBN 2021, target penerimaan perpajakan diusulkan pemerintah senilai Rp1.481,9 triliun atau tumbuh 5,5% dari target dalam Perpres No.72 Tahun 2020 senilai Rp1.404,5 triliun. Target itu tercatat minus 20,6% bila dibandingkan dengan target dalam APBN 2020 induk senilai Rp1.865,7 triliun. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.