HUKUM pajak merupakan bagian dari hukum publik (Brotodihardjo, 1978). Hukum ini memberikan landasan bagi para pemangku kepentingan, khususnya wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Kendati demikian, hukum pajak terkadang begitu kompleks dan seringkali meninggalkan banyak ruang ketidakpastian. Hal inilah yang kemudian mendorong wajib pajak untuk meminta advis kepada profesional pajak (Moldenhauer, 2007).
Penguasaan akan pengetahuan hukum pajak itu sendiri tentunya merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang profesional pajak. Namun demikian, hal ini belumlah cukup, terutama ketika memberikan advis di bidang perpajakan.
Seorang profesional pajak juga dituntut memiliki kemampuan lain, di antaranya adalah kemampuan konseling, komunikasi, dan penilaian (Field, 2012). Penggabungan unsur-unsur ini diharapkan dapat membantu profesional pajak dalam membuat sebuah advis yang efektif bagi kliennya.
Efektif yang dimaksud di sini dapat mengarah kepada bantuan terhadap klien untuk menyederhanakan dan membantu menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Dengan demikian, dalam derajat tertentu, ruang ketidakpastian dapat diminimalisir.
Field (2012) memberikan beberapa kiat-kiat bagi profesional pajak dalam memberikan layanan advis pajak yang efektif. Di antaranya sebagai berikut.
Pertama, seorang profesional pajak perlu memahami bisnis yang dilakukan kliennya. Pemahaman ini akan memberikan ruang bagi profesional pajak untuk segera mengetahui logika dari transaksi yang akan, sedang, atau sudah dilakukan kliennya.
Pengetahuan ini akan membawa profesional pajak untuk mengetahui tujuan dari transaksi tersebut. Selain itu, dengan pengetahuan ini, profesional pajak juga dapat memberikan peringatan awal atau perhatian lebih atas potensi risiko perpajakan yang mungkin timbul.
Tentunya pengetahuan akan bisnis klien ini akan semakin lengkap jika profesional pajak juga mengetahui cara kerja dari sistem keuangan dan akuntansi yang berlaku bagi bisnis tersebut.
Sebagai contoh, perusahaan perkebunan kelapa sawit. Profesional pajak harus paham produk apakah yang dijual dari perkebunan kelapa sawit tersebut. Apakah terbatas pada tandan buah segar (TBS) atau pada hasil produksi crude palm oil/crude palm kernel oil (CPO/CPKO)?
Perusahaan yang memiliki mesin refinery, tentunya akan cenderung menjual produk dalam bentuk CPO/CPKO. Apabila ditemukan adanya penjualan TBS maka profesional pajak harus segera memperhitungkan risiko PPN yang mungkin timbul.
Mengingat penjualan TBS memiliki risiko untuk tidak dikenakan PPN dan pajak masukan yang timbul terkait penjualan ini berpotensi untuk tidak dapat dikreditkan.
Kedua, profesional pajak perlu memberi pemahaman kepada klien bahwa membayar pajak merupakan bagian dari kegiatan usaha. Untuk itu, pemberian advis untuk meminimalkan pajak sekecil-kecilnya terkadang bukan merupakan hasil yang terbaik, jika pada akhirnya wajib pajak malah menjadi tidak leluasa melakukan kegiatan bisnisnya.
Kasus Starbucks di Inggris merupakan contoh yang dapat ditelaah. Skema perencanaannya telah berhasil meminimalkan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Akan tetapi, kegiatan bisnisnya menemui tantangan ketika sebagian masyarakat di Inggris memprotes perencanaan pajak yang dilakukannya.
Protes tersebut berdampak pada citra perusahaan di mata masyarakat Inggris. Demi meredam hal tersebut, pada akhirnya Starbucks secara sukarela menyisihkan pendapatannya untuk dibayar kepada pemerintah. Berita terkait kasus Starbucks dapat juga dibaca di sini.
Ketiga, para profesional pajak harus tegas untuk mengatakan “tidak” kepada klien ketika tujuan perencanaan pajak akan dilakukan melalui tindakan yang melanggar hukum. Penegasan juga harus dilakukan ketika klien melakukan kesalahan.
Meskipun berposisi untuk membela klien, penegasan ini sangat penting untuk menghindarkan klien dari sanksi yang lebih merugikan. Pada akhirnya, profesional pajak harus memberikan perlindungan kepada klien agar tidak melanggar ketentuan perpajakan.
Langkah korektif dapat dilakukan oleh profesional pajak untuk memberikan perlindungan kepada wajib pajak dari kesalahan yang dilakukannya. Pembetulan dan/atau pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT menjadi contoh pengambilan langkah korektif yang bisa jadi solusi terbaik bagi klien.
Tulisan selengkapnya terkait pembetulan dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dapat dibaca di sini.
Keempat, profesional pajak harus terus mengasah kemampuan komunikasi. Komunikasi dengan klien perlu dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh klien.
Sangat dimungkinkan bahwa klien menangkap maksud yang berbeda. Sebaliknya, profesional juga dapat menangkap maksud yang berbeda dari komunikasi yang dilakukan klien kepadanya.
Perbedaan interpretasi atas suatu konteks pembicaraan menjadi kasus yang sangat mungkin terjadi. Bahkan, tidak sedikit ditemukan suatu kondisi ketidaksesuaian ketika klien masih memiliki pemahaman yang terbatas atas konsep umum mengenai pajak itu sendiri.
Sebagai contoh, pemahaman dari masyarakat awam yang masih sering terjadi adalah perbedaan antara pajak penjualan dengan akronim PPn dengan pajak pertambahan nilai dengan akronim PPN. Walau keduanya sama-sama dikenakan atas kegiatan konsumsi, akan tetapi efek perpajakan yang ditimbulkan jauh berbeda bagi para pelaku usaha.
Profesional pajak tentu harus menjelaskan bahwa terdapat banyak perbedaan dari kedua jenis pajak ini. Salah satu perbedaan paling menonjol adalah metode kredit pajak.
PPN memiliki sistem kredit pajak, sedangkan PPn tidak memiliki sistem tersebut (Darussalam, et. al, 2018). Buku referensi yang secara lengkap mengupas tentang konsep PPN dapat diunduh secara gratis di sini.
Lebih lanjut, profesional pajak perlu senantiasa memposisikan diri dengan klien yang memiliki beragam latar belakang sehingga dapat menyampaikan maksudnya dengan lebih efektif.
Selain kiat-kiat di atas, profesional pajak juga dituntut untuk terbiasa mengikuti perubahan dinamika peraturan. Pemahaman akan suatu konsep perpajakan bisa saja berubah seiring waktu mengikuti perkembangan zaman yang ada.
Salah satu contoh perkembangan perpajakan saat ini adalah pemajakan atas kegiatan ekonomi digital. Melalui perkembangan teknologi dan informasi, suatu usaha tidak lagi memerlukan suatu tempat tetap ataupun kehadiran fisik untuk menimbulkan sebuah nexus untuk dikenakan pajak.
Banyak kegiatan kini dapat dilakukan di dalam ruang maya yang tidak memerlukan keberadaan fisik. Bahkan, bisa saja kegiatan tersebut dilakukan di luar angkasa yang tidak tersekat di bumi (Anggi, 2020). Update terkait hukum perpajakan dan konsepnya sangat diperlukan bagi profesional pajak.
Pemberian advis oleh profesional pajak merupakan garda terdepan bagi wajib pajak. Sangat diperlukan beragam kemampuan oleh profesional pajak dalam memberikan advis dan mempersempit ruang ketidakpastian. Pada akhirnya, pelaksanaan hak dan kewajiban wajib pajak menjadi lebih efektif.
(Disclaimer)Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
ada satu yg sebaiknya ditambahkan, tax advisor juga sebaiknya memberikan opsi2 alternatif tax management atau tax mitigation yg hendak dijalani berdasar pada implikasi beban kepatuhan pajaknya. Agar WP paham dan dapat memilih sendiri satu opsi dengan memahami konsekuensinya.