RUU HPP

Pajak Karbon di Depan Mata, Pemerintah Perlu Pantau Dampak Kebijakan

Redaksi DDTCNews | Rabu, 06 Oktober 2021 | 19:47 WIB
Pajak Karbon di Depan Mata, Pemerintah Perlu Pantau Dampak Kebijakan

Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaj. (tangkapan layar)

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah perlu cermat mengantisipasi dampak dari implementasi pajak karbon nantinya.

Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengingatkan ada sejumlah isu yang berpotensi muncul sebagai buntut dari penerapan pajak karbon. Salah satunya, peluang terjadinya kebocoran karbon atau carbon leakage.

Menurutnya, problem ikutan seperti carbon leakage bisa terjadi karena 2 hal. Pertama, implementasi pengenaan pajak karbon yang berbeda-beda di setiap negara. Kedua, pungutan pajak karbon yang tidak berlaku untuk semua sektor ekonomi.

Baca Juga:
DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

"Saat ini tidak ada keseragaman penerapan pajak karbon dan tidak ada koordinasi antarnegara. [Pengenaan pajak karbon] juga tidak berlaku pada seluruh sektor. Ini yang kemudian menyebabkan carbon leakage," katanya dalam acara bertajuk Carbon Tax Policy: A Key Role in Indonesia’s Sustainability, Rabu (6/10/2021).

Isu lanjutan dari pajak karbon juga berimplikasi pada beberapa aspek lainnya seperti level of playing field dalam berusaha. Alasannya, menurut Bawono, ada sektor ekonomi yang terdampak dan tidak terdampak. Ujungnya, kinerja realisasi investasi juga ikut kena imbas.

Apalagi kebijakan pajak menjadi salah satu pertimbangan bagi investor yang akan menanamkan modalnya. Faktor biaya, termasuk pajak, tak terelakkan menjadi salah satu indikator yang dihitung.

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selain carbon leakage, dampak ikutan lainnya adalah kenaikan harga jual atas komoditas atau produk yang sektornya terdampak pajak karbon.

"Jadi ada isu daya saing kemudian risiko pada mobilitas investasi dan faktor produksi," ungkap Bawono.

Dengan kompleksnya isu lanjutan yang berpeluang muncul, Bawono menambahkan, kebijakan pajak karbon harus diposisikan sejalan dengan kerangka roadmap kebijakan yang prolingkungan. Pajak karbon perlu dikaitkan dengan kebijakan carbon pricing dan agenda lain di sektor lingkungan hidup.

Baca Juga:
Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

"Syukurlah hal tersebut juga sudah disebutkan dalam RUU HPP [Harmonisasi Peraturan Perpajakan]," kata Bawono.

Hal senada diungkapkan oleh Alina Halimatussadiah, Kepala Grup Riset Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI. Menurutnya, pemerintah tidak boleh berhenti begitu saja usai kebijakan pajak karbon diterapkan. Pemerintah, ujarnya, perlu melakukan evaluasi secara berkala untuk mengukur keberhasilan regulasi baru ini.

"Sudah banyak negara yang menerapkan pajak karbon sebagai instrumen penerimaan dan alat melakukan transisi energi yang lebih bersih. Skema pajak dan perdagangan karbon harus terus menerus dievaluasi," terangnya.

Terkait dengan penerapan pajak karbon, DDTCNews mengadakan debat berhadiah uang tunai senilai total Rp1 juta (masing-masing pemenang Rp500.000). Sampaikan pendapat Anda paling lambat Senin, 11 Oktober 2021 pukul 15.00 WIB pada artikel ‘Setuju dengan Pajak Karbon? Sampaikan Pendapat Anda, Rebut Hadiahnya!’.(sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

06 Oktober 2021 | 23:21 WIB

Pemerintah harus siap menangani berbagai tantangan yang akan dihadapi saat mengimplementasikan pajak karbon, mulai dari persiapan regulasi sampai administrasi.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja