EFEK VIRUS CORONA

Orientasi Respons Kebijakan Pajak Mulai Bergeser, Tak Hanya Likuiditas

Muhamad Wildan | Kamis, 17 September 2020 | 13:45 WIB
Orientasi Respons Kebijakan Pajak Mulai Bergeser, Tak Hanya Likuiditas

Ilusttrasi. Seorang wanita berjalan melewati Teater Piccadilly di West End London, ditengah penyebaran virus corona (COVID-19), di London, Inggris, Kamis (13/8/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Henry Nicholls/AWW/djo
 

JAKARTA, DDTCNews – Orientasi atau tujuan penggunaan kebijakan pajak di berbagai negara untuk merespons pandemi Covid-19 mulai bergeser.

Pergeseran ini dijabarkan Nana Ama Sarfo melalui artikel berjudul Covid-19 Tax Strategies Shift Focus From Liquidity to Growth dalam Tax Notes International. Menurutnya, kebijakan pajak yang awalnya berorientasi pada likuiditas mulai bergeser pada pertumbuhan ekonomi pada masa depan.

“Likuiditas sama pentingnya, tetapi sekarang pemerintah melihat ke masa depan,” tulisnya, dikutip pada Kamis (17/9/2020).

Baca Juga:
Veteran dan Pensiunan Dapat Insentif, Setoran PBB Tetap Capai Target

Secara umum, respons pajak terhadap pandemi Covid-19 terbagi dalam tiga fase. Pertama, fase saat otoritas berupaya membantu penjagaan likuiditas wajib pajak melalui fasilitas penangguhan pembayaran pajak, percepatan restitusi, hingga pemberian fasilitas kompensasi kerugian.

Terkait dengan isu likuiditas, bisa juga menyimak berapa artikel analisis ‘Ada Covid-19, Berbagai Negara Beri Penangguhan dan Pengurangan Pajak’; ‘Untuk Jaga Arus Kas Perusahaan, Banyak Negara Pakai Instrumen Pajak Ini’; dan ‘Meninjau Insentif Kompensasi Kerugian Akibat Covid-19’.

Kedua, fase saat otoritas pajak melakukan restrukturisasi sistem perpajakan sembari melanjutkan penjagaan likuiditas wajib pajak pada fase pertama. Ini fase yang rumit (tricky). Kenaikan pajak harus bertahap dan masuk akal agar tidak menghambat perekonomian dan menyebabkan penolakan dari wajib pajak.

Baca Juga:
Pelayanan Kesehatan Medis Bebas PPN Indonesia, Bagaimana di Asean?

Ketiga, fase pascapandemi atau yang disebut World Bank sebagai fase resilient recovery. Pada fase ini, hubungan saling percaya antara wajib pajak dan otoritas pajak yang disokong dengan pemberian insentif yang adil pada masa pandemi memiliki peranan penting.

Apabila kepercayaan antara wajib pajak dan otoritas pajak terbangun dengan baik, fase ketiga pada masa pascapandemi bisa menjadi momentum peningkatan tarif dan perluasan basis pajak karena mendapat dukungan dari wajib pajak.

Perluasan Basis Pajak

Baca Juga:
Diperpanjang hingga 2030, Lahan Pertanian di Negara Ini Bebas Pajak

Pasalnya, perdebatan mengenai arah kebijakan perpajakan yang bisa mendukung pendanaan pemulihan ekonomi pun mulai berlangsung di berbagai negara. Di Inggris, rencana pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dibatalkan. Pemerintah berbalik arah dan berencana untuk menerapkan peningkatan tarif dan perluasan basis.

Ekonom memberi rekomendasi agar pemerintah Inggris fokus pada perluasan basis pajak, terutama pajak pertambahan nilai (PPN). Meski tidak populer secara politik, barang kena pajak (BKP) yang selama ini dibebaskan dari PPN dirasa perlu dikenai PPN untuk menciptakan sistem PPN yang efisien.

Terkait dengan PPN, sebelumnya, World Bank memberi rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk mengurangi beberapa pengecualian (exemptions) PPN. Pasalnya, pengecualian yang diberikan sejauh ini kurang tepat sasaran. Simak artikel ‘Pengecualian PPN Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Ini Saran World Bank’.

Baca Juga:
Keterangan Tertulis DJP soal Penyesuaian Tarif PPN, Unduh di Sini

Perluasan basis pajak dan peningkatan tarif pajak perlu dilaksanakan secara bersama. Peningkatan tarif pajak tanpa diimbangi dengan perluasan basis dinilai berpotensi menciptakan distorsi atas sistem perpajakan yang sudah ada.

Wacana perluasan basis pajak juga mulai bergulir di India. Central Board of Direct Taxes telah menambahkan 12 transaksi finansial baru yang harus dilaporkan oleh wajib pajak, seperti transaksi pembayaran premi asuransi kesehatan dan asuransi jiwa, pembayaran tiket pesawat domestik kelas bisnis dan perjalanan internasional, hingga perhotelan.

Wacana untuk menambah beban pajak atas sektor yang menikmati windfall pandemi Covid-19 juga bergulir di berbagai negara. Berdasarkan survei YouGov di Inggris, 53% responden dari survei tersebut menyatakan dukungan pengenaan pajak atas keuntungan berlebih (excess profit) yang dinikmati oleh sektor tertentu.

Beberapa anggota Parlemen Ghana juga menyuarakan perlunya pengenaan pajak atas windfall yang dinikmati oleh korporasi pertambangan emas. Di Malaysia, berbagai pihak juga menyuarakan adanya tambahan beban pajak bagi pembuat sarung tangan yang menikmati keuntungan berlebih di tengah pandemi.

Baca Juga:
Negara Ini Bebaskan Pajak untuk Pengusaha Beromzet hingga Rp1 Miliar

Menarik Investasi

Wacana perpajakan yang bergulir di berbagai negara tidak terbatas pada upaya peningkatan tarif dan perluasan basis untuk meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa negara, masih dalam artikel yang ditulis Nana Ama Sarfo, telah meluncurkan kebijakan untuk menyokong dunia usaha dan perekonomian ke depan.

Rumusan kebijakan perpajakan khusus untuk meningkatkan investasi mulai bergulir di berbagai negara. Belgia tercatat telah meluncurkan kebijakan yang membebaskan pengenaan pajak atas sebagian keuntungan yang diperoleh korporasi.

Baca Juga:
Soal Daya Saing RI saat Tarif PPN Jadi 12 Persen, Ini Kata Kepala BKF

Pembebasan ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi korporasi memulihkan ekuitasnya setelah menghadapi tekanan pada masa pandemi. Belanda juga telah memperbolehkan korporasi mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19 untuk mengompensasikan kerugian tersebut dengan penghasilan yang diperoleh korporasi pada 2019.

Dukungan perpajakan untuk UMKM juga semakin banyak dilakukan oleh berbagai negara. Berdasarkan catatan OECD, sudah terdapat 55 negara yang memberikan dukungan khusus kepada UMKM dalam bentuk penangguhan pembayaran pajak. Namun, terdapat banyak negara yang memberikan dukungan oleh UMKM lebih dari sekedar penangguhan pembayaran pajak.

India tercatat telah meningkatkan threshold omzet pengusaha kena pajak (PKP) dalam sistem goods and services tax (GST) dari INR2 juta menjadi INR4 juta (sekitar Rp806 juta). Perusahaan dengan omzet di bawah INR10,5 juta diperbolehkan untuk menghitung beban GST-nya menggunakan skema GST khusus yang diperuntukkan bagi UMKM.

Sementara itu, Australia mulai membidik pekerja asing dengan keahlian tinggi di bidang financial technology, farmasi, teknologi pertanian, bioteknologi, dan sebagainya. Pemerintah Australia bahkan menjanjikan kemudahan proses pengurusan administrasi tempat tinggal permanen. Australia juga menjanjikan insentif untuk perusahaan asing yang masuk. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 23 Desember 2024 | 17:30 WIB KABUPATEN SIDOARJO

Veteran dan Pensiunan Dapat Insentif, Setoran PBB Tetap Capai Target

Senin, 23 Desember 2024 | 15:45 WIB STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Pelayanan Kesehatan Medis Bebas PPN Indonesia, Bagaimana di Asean?

Senin, 23 Desember 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Keterangan Tertulis DJP soal Penyesuaian Tarif PPN, Unduh di Sini

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra