RAPBN 2025

Mulai Bahas RAPBN 2025, DPR Ingatkan Defisitnya Jangan Terlalu Lebar

Dian Kurniati | Selasa, 04 Juni 2024 | 18:15 WIB
Mulai Bahas RAPBN 2025, DPR Ingatkan Defisitnya Jangan Terlalu Lebar

Menteri Keuangan Sri Mulyani (atas, kanan) menyampaikan tanggapan pemerintah atas pandangan Fraksi PDI Perjuangan terhadap kerangka RAPBN 2025 dalam rapat paripurna DPR ke-19 masa persidangan V tahun sidang 2023-2024 di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/6/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

JAKARTA, DDTCNews - Badan Anggaran (Banggar) DPR menilai rentang defisit RAPBN 2025 yang dituangkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sebesar 2,45% - 2,82% masih terlalu lebar.

Anggota Banggar DPR Dolfie OFP mengatakan rentang defisit yang diusulkan pemerintah sebesar 2,45% - 2,82% menjadi paling tinggi dalam sejarah APBN saat transisi kepemerintahan.

"Setiap pergantian pemerintahan, kita punya preseden [tentang] defisit. Defisit transisi ini yang paling tinggi dari proses transisi yang pernah ada. Seharusnya lebih rendah defisitnya," katanya dalam rapat kerja bersama pemerintah, Selasa (4/6/2024).

Baca Juga:
DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Dolfie menuturkan RAPBN 2025 perlu disusun secara hati-hati karena menjadi APBN transisi bagi pemerintah berikutnya. Menurutnya, rentang defisit sebaiknya dirancang kecil sehingga pemerintah yang baru memiliki ruang fiskal yang memadai.

Dalam hitungannya, defisit RAPBN 2025 sebesar 2,45%-2,82% PDB setidaknya mencapai sekitar Rp600 triliun. Untuk belanja yang diusulkan sebesar 14,59%-15,18% PDB, nilainya mencapai sekitar Rp3.500 triliun.

Oleh karena itu, Dolfie berharap rapat panitia kerja (panja) akan fokus membahas nilai belanja dan defisit yang terlalu besar pada RAPBN 2025.

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Senada, Anggota Banggar Ecky Awal Mucharam menilai pemerintah saat ini sebaiknya merancang APBN yang menyediakan ruang fiskal lebar untuk pemerintah mendatang.

Apabila RAPBN 2025 yang disusun belum mengakomodasi janji kampanye, pemerintah berikutnya dapat mengajukan APBN-P.

Meski pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa tahun terakhir tidak mengajukan APBN-P, Ecky mengingatkan bahwa revisi APBN melalui APBN-P bukan hal tabu. Terlebih dalam situasi transisi, ruang penyesuaian perlu tetap tersedia dalam APBN.

Baca Juga:
Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

"Kalau dari sisi siklus proses transisional, sebetulnya hampir dikatakan APBN-P sebuah keniscayaan untuk mengakomodasi program-program dari pemerintahan yang baru. Jadi, enggak tabu juga adanya APBN-P," ujarnya.

Ecky juga mengenang pemerintah Presiden Jokowi yang mengajukan APBN-P pada pertengahan Januari 2015. Setelahnya, DPR menyetujui dan mengesahkan APBN-P 2015 pada pertengahan Februari 2015 atau hanya memerlukan waktu sebulan.

Pada saat itu, Presiden Jokowi justru menurunkan target defisit anggaran, dari semula Rp245,9 triliun atau 2,21% PDB pada APBN 2015 menjadi hanya Rp224,1 triliun atau 1,92% PDB pada APBN-P.

Baca Juga:
Pemerintah Pusat Bakal Asistensi Pemda Terbitkan Obligasi Daerah

Selain defisit, rentang rasio utang 2025 yang diproyeksi mencapai 37,98%-38,7% juga turut disorot. Menurut Ecky, rentang rasio utang tersebut terlalu tinggi ketimbang saat transisi dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Presiden Jokowi sebesar 24,7%.

"Berilah keleluasaan program-program pemerintahan yang akan datang sebagaimana RPJMN-nya, kan paling lambat 3 bulan setelah dilantik," tuturnya.

Merespons pandangan Banggar DPR, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menyatakan pemerintah bersama DPR bakal menyusun RAPBN yang tepat untuk masa transisi pemerintahan. Menurutnya, masukan dari Banggar tersebut juga wajar disampaikan dalam pembahasan pembicaraan pendahuluan RAPBN 2025.

"Ini adalah kita melakukan mandat kita mengikuti siklus dari APBN, dan ini tentunya bagian dari proses itu dengan Banggar yang nanti kita lanjutkan di panja," katanya. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB PERPRES 139/2024

Kemenkeu Era Prabowo Tak Lagi Masuk di Bawah Koordinasi Menko Ekonomi

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja