ANALISIS PAJAK

Meninjau Pajak atas Instrumen Keuangan

Selasa, 09 Oktober 2018 | 06:43 WIB
Meninjau Pajak atas Instrumen Keuangan
,

ADANYA tekanan ekonomi, persaingan investasi, serta ancaman defisit anggaran membuat pemerintah mulai meninjau ulang pajak atas instrumen keuangan. Salah satunyaialah pajak atas obligasi. Namun, sebelum menilik lebih jauh tentang pemajakan instrumen keuangan, terdapat pertanyaan dasar yang penting untuk dijawab. Sebenarnya, apakah pajak bisa mempengaruhi perilaku investasi atau tabungan (savings)?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa melihat dari sisi teoretis dan bukti empiris. Dari sisi teori, secara umum, kebijakan dan sistem pajak tidak dapat terpisahkan dari adanya pilihan investasi atau tabungan (Sandmo, 1985). Sementara berdasarkan bukti empiris dari penelitian Zwick dan Mahon (2016), kebijakan pajak yang menyasar langsung pada investasi akan berpengaruh terhadap perilaku investasi. Jadi, cukup tepat apabila pemerintah Indonesia meninjau sisi pajak atas instrumen keuangan yang merupakan bagian dari investasi.

Kemudian, pertanyaan selanjutnya, bagaimana skema pemajakan yang tepat? Secara konsep, terdapat tiga skema pemajakan atas instrumen investasi, yaitu pajak final, withholding tax, dan capital gain tax. Skema pajak final maupun withholding tax tentu tidak asing karena selama ini diterapkan dalam pemajakan atas instrumen keuangan di Indonesia. Sementara itu, capital gain tax terdengar cukup asing di telinga masyarakat Indonesia. Alasannya, hingga saat ini skema tersebut belum diterapkan seutuhnya di Indonesia.

Dilihat dari definisi secara sederhana, capital gain tax merupakan pajak atas selisih keuntungan penjualan investasi. Capital gain tax diterapkan di banyak negara. Bahkan, Inggris telah menerapkan jenis pajak ini selama lebih dari lima puluh tahun. Negara berkembang seperti India dan Filipina juga menerapkan jenis pajak ini. Menurut James dan Maples (2016), capital gain tax memiliki keunggulan dari aspek keadilan (equity) dan netralitas (neutrality). Keunggulan tersebut masih sulit diperoleh apabila menggunakan skema lain dalam konteks pemajakan atas instrumen keuangan.

Pelajaran bagi Indonesia

Terkait penjelasan di atas, terdapat beberapa pelajaran terkait pemajakan atas instrumen keuangan bagi Indonesia.

Pertama, perbedaan skema. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, saat ini Indonesia masih menganut pajak final dan withholding tax dalam pemajakan atas instrumen keuangannya. Prinsip tersebut bergantung pada status investor (orang pribadi atau badan), status wajib pajak (dalam negeri atau luar negeri), serta jenis imbal hasil dari investasi (bunga dari obligasi, dividen dari saham, bunga obligasi dari reksa dana, dan sebagainya).

Perbedaan ini tentu dapat menciptakan distorsi dari perilaku investor. Sebagai contoh, tanpa melihat faktor lain, investor akan cenderung membeli obligasi melalui reksa dana dengan tarif pajak 5% atas bunga obligasi daripada membeli obligasi secara langsung yang dikenai pajak dengan tarif 15%.

Terkait status wajib pajak, dengan asumsi tidak ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka akanterdapat perbedaan tarif pajak 5% lebih tinggi bagi wajib pajak luar negeri apabila ingin berinvestasi pada pasar obligasi Indonesia secara langsung. Perbedaan tarif tersebut bukan tidak mungkin akan menurunkan daya saing pasar obligasi Indonesia di pasar global.

Sementara itu, menilik penerapan prinsip sistem pemajakan di negara lain, model yang ideal untuk diterapkan justru menggunakan capital gain tax karena mempertimbangkan aspek keadilan dan netralitas sehingga tidak menimbulkan distorsi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mulai ‘memilah-milah’ jenis instrumen investasi mana yang dapat diterapkan capital gain tax secara murni.

Kedua, perbedaan tarif. Pada awalnya, tarif antara bunga obligasi yang diperdagangkan di pasar obligasi secara langsung sangat jauh berbeda dengan tarif pada instrumen reksa dana. Sebagai informasi, pengenaan PPh atas bunga obligasi pada instrumen reksa dana diterapkan secara bertahap. Pada tahun 2009-2010, bunga obligasi pada instrumen reksa dana dikenai PPh final dengan tarif 0%. Tarif PPh tersebut meningkat menjadi 5% padakurun waktu 2011-2013 hingga kemudian seharusnya meningkat kembali menjadi sebesar 15% pada tahun 2014. Namun, kenaikan tarif menjadi sebesar 15% yang seharusnya dimulai pada tahun 2014 ditunda pelaksanaannya hingga tahun 2020. Alasannya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai industri reksa dana belum berkembang pesat.

Poin yang harus digarisbawahi, untuk jenis investasi yang sama (obligasi) dengan jenis pemasaran dengan cara berbeda (melalui pasar obligasi secara langsung dan melalui reksa dana), tidak selayaknya hasil investasi tersebut dikenai tarif pajak dengan selisih yang cukup besar. Dalam konteks ini, terdapat selisih tarif pajak 10% antara wajib pajak dalam negeri yang menginvestasikan dananya melalui pasar obligasi secara langsung (tarif pajak 15%) dan yang menginvestasikan dananya melalui reksa dana obligasi (tarif pajak 5%).

Ketiga, keselarasan dengan tujuan ekonomi pemerintah. Pemerintah perlu mempertimbangkan beban pajak efektif dalam setiap peluang investasi maupun tabungan, baik berupa tabungan deposito, investasi dalam instrumen keuangan, maupun investasi dalam sektor properti. Artinya, rezim pemajakan atas penghasilan yang berasal dari modal (taxation on capital) harus selaras dengan tujuan ekonomi pemerintah.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu untuk menentukan tujuan ekonominya, apakah lebih ‘condong’ ke tabungan atau investasi. Apabila pemerintah lebih ingin mengembangkan investasi, investasi jenis apa yang akan disasar?

Pada prinsipnya, meskipun hanya merupakan salah satu faktor penentu dalam memilih investasi, alangkah bijaknya jika desain kebijakan pajak bersifat adil dan netral sehingga mendukung iklim investasi. Sebagai penutup, pemerintah juga perlu bertindak hati-hati karena tidak seluruh persoalan ekonomi harus diselesaikan melalui kebijakan pajak.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 07 Januari 2025 | 11:30 WIB KEBIJAKAN ENERGI

APBN 2025 Targetkan Lifting Migas 1,6 Juta Barel, Ada Sanksi bagi KKKS

Selasa, 31 Desember 2024 | 15:00 WIB KILAS BALIK 2024

Desember 2024: PPN 12%, Harga Eceran Rokok Naik, dan Persiapan Coretax

Senin, 30 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

Oktober 2024: Sri Mulyani Dilantik Lagi Jadi Menkeu, USKP Dievaluasi

Minggu, 29 Desember 2024 | 15:00 WIB KILAS BALIK 2024

Agustus 2024: Aturan Akses Informasi Keuangan untuk Perpajakan Diubah

BERITA PILIHAN