Assistant Manager DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah. (tangkapan layar)
BOGOR, DDTCNews – Sistem pemungutan pajak di Indonesia tidak ada yang berkonsep syariah. Namun, pajak memang bisa dikenakan atas kegiatan usaha atau transaksi berbasis syariah. Konsep pemajakan atas transaksi syariah saat ini masih bersifat mutatis mutandis.
Assistant Manager DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah menyampaikan bahwa pajak atas transaksi syariah sebenarnya bukan jenis pajak tersendiri. Pemajakan yang terjadi tetap mengacu pada ketentuan pajak secara umum.
“Perlu dipahami bahwa tidak ada pajak syariah di Indonesia. Kita tentukan dulu transaksinya seperti apa, substansinya seperti apa, baru ditentukan apa sih pajaknya. Seperti yang tadi disampaikan, sifatnya mutatis mutandis dengan transaksi konvensional,” ujar Awwaliatul, Kamis (28/10/2021).
Dari sisi PPh, tidak ada pembedaan kategorisasi penghasilan antara pajak berbasis prinsip syariah maupun prinsip konvensional. Oleh karena PPh menganut asas substance over form, penghasilan dari keduanya tetap diakui sebagai objek pajak.
Dalam gelaran 'Kuliah Umum Pajak Syariah' oleh FEB Universitas Ibn Khaldun tersebut, Awwaliatul menyebutkan salah satu isu yang muncul adalah adanya perbedaan bentuk return yang didapat oleh industri keuangan syariah dan konvensional.
Dalam prinsip konvensional, return yang didapat dari transaksi yang terjadi dalam bentuk bunga. Lain halnya dengan prinsip syariah yang mengharamkan adanya bunga melainkan mengakui return atas bonus, bagi hasil, maupun margin.
Prinsip mutatis mutandis yang berlaku dalam ketentuan PPh industri syariah berlaku untuk memastikan terciptanya prinsip netralitas dan level playing field. Hal ini diperlukan untuk menjamin tidak adanya distorsi dalam keputusan ekonomi.
Tidak hanya dari sisi PPh, Awwaliatul juga menyampaikan bagaimana pengenaan PPN atas transaksi-transaksi berbasis syariah. Namun, dengan terbitnya UU HPP belum lama ini mengubah perlakuan PPN atas transaksi syariah khususnya terkait jasa keuangan syariah.
“Kalau kita lihat jasa keuangan termasuk jasa keuangan syariah sebelum adanya UU HPP bukan merupakan objek PPN. Melalui UU HPP, ketentuan dalam Pasal 4A itu dihapus. Implikasinya adalah sekarang menjadi objek PPN, tetapi masih diberikan fasilitas berupa pembebasan PPN,” tambahnya.
Sebelum berlakunya UU HPP, jasa keuangan masuk ke dalam negative list objek PPN. Oleh karena itu, tidak ada PPN terutang serta pengusaha kena pajak (PKP) tidak memiliki kewajiban membuat faktur pajak dan melapor SPT Masa PPN.
Akan tetapi, setelah berlakunya UU HPP jasa keuangan kini menjadi objek PPN dan atas transaksinya terutang PPN. Namun, pengenaan PPN atas jasa keuangan diberikan fasilitas berupa pembebasan PPN.
Hal ini membawa konsekuensi kewajiban pembuatan faktur pajak dengan kode 08 dan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN oleh PKP. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.